Senin, 06 Maret 2017

BANDUNG: INSTITUT FRANCAIS D'INDONESIA









Sial, ternyata tempat ini terletak di belakang Gramedia jalan Merdeka yang sering aku datangi. Kenapa tak dari dulu aku sadar? Bodohnya aku! Dan lebih sialnya lagi, aku berjalan meniti pinggiran jalan Purnawarman yang retak-retak, diambil oleh sekian banyak mobil di pinggir jalannya, yang terletak berada lebih ke atas. Setelah tanya sana dan sini, aku pun baru tahu, jalan di belakang Gramedia ternyata juga jalan Purnawarman. Dan IFI ada di situ. Sungguh laki-laki bodoh!

Aku langsung bergegas dan kecewa setelah tahu bahwa hari senin, semenjak Januari Mediatek tutup di hari itu. Ada laki-laki ceriwis yang mencecar berbagai macam pertanyaan ke seorang perempuan muda yang dengan tabah menanganinya. Laki-laki yang mengingatkan akan diriku, yang ingin bertanya sampai detail mengenai les di lembaga ini. 

Saat tahu perpustakaan tutup, agak lemas rasanya. Padahal nanti pagi, aku akan pergi meninggalkan kota ini. Akhirnya aku memutuskan meminta ijin untuk memasuki perpustakaan sebentar. Perempuan muda cantik yang sedang diserang pertanyaan itu pun mengijinkan. Ah, tidak, aku pun bergembira walau hanya sebentar. Dengan mata berbinar, aku tinggalkan tasku dilobi, sekedar membawa gadget dan mulai menyisir buku-buku. 

Pertamakali melihat ruangannya aku langsung jatuh hati. Lebih besar dan luas dari IFI Jogja. Lagian, aku nyaris sendirian. Waktunya untuk bersenang-senang!
Aku menemukan buku berjudul Ke Livre de L'echelle de Mahomet. Buku yang sepertinya menarik. Ada rak kecil khusus menyoal Islam. Aku rasa, Perancis mencoba ingin lebih mengenal agama ini terlebih ketika pengeboman dan terorisme kian gencar bahkan mengguncang Perancis itu sendiri. Ada banyak buku Victor Hugo. Lalu ada Dumas. Aku menemukan Candide karya Voltaire. Le Crime de Lord Arthur Savile milik Oscar Wilde. Buku-buku Jean Paul Satre. Buku-buku Albert Camus semacam Caligula. Dan aku juga menemukan Theatre, Revitalisasi, Nouvelles. Sebelum aku pulang, aku tak sengaja melihat Ke mythe de Sisyphe. Dan oh karya Balzac! Voyage de Paris A Java. Dan sekian banyak buku lainnya yang tak aku kenal siapa pengarangnya. Semuanya dalam bahasa Perancis. 

Apakah aku paham dengan bahasa Perancis? Tidak. Tapi hanya sekedar melihat dan merasakan suasana perpustakaan. Melihat buku-buku bagus ada di sana, di rak-rak yang menjorok, benar-benar nikmat rasanya. Apalagi menemukan buku langka yang tak ada di mana pun dan ada di sini atau di tempat lain yang sedikit orang yang tahu. Itu benar-benar menggembirakan. 

Aku berjalan ke sana kemari. Sendirian. Menikmati kekuasaan hening perpustakaan mungil tapi sangat teduh dan nyaman. Arsitektur model lama dan agak bergaya Eropa klasik memang cukup menenangkan dari pada perustakaan modern akhir-akhir ini yang lebih mirip kafe atau lobi hotel. Cahaya matahari yang jatuh. Hembusan udara dari mulut dan hidungku sendiri. Jejak langkah dari kaki-kakiku yang menggema. Dan bau buku-buku serta bangunan yang menenangkan dan khas. Perasaan yang tak aku bisa miliki ketika menikmati perpustakaan milik pemerintah yang serba kaku, kehilangan jiwa, walau coba ingin terkesan elegan. 

Saat kau sangat menyukai atau mencintai buku, kau akan merasakan bagaimana yang aku rasakan. Perasaan berdebar dan meluap saat berjumpa dengan buku-buku. Terlebih jika buku itu sangat menarik dan kau inginkan. 

Mungkin aku konyol. Mungkin aku terlalu mabuk dengan buku sehingga memutuskan berjalan dari kota ke kota. Memasuki Setiap ruang yang berisi buku-buku. Dan sangat nyaman menikmati membaca buku dalam perjalanan. Dan hal yang paling tak bisa dimaafkan, menulis mengenai perjalanan yang berkaitan dengan buku-buku.

Ada Ayu Utami berbahasa perancis, Saman, di tempat ini. Di Goethe Institut kemarin aku juga menemukannya. Rasa-rasanya, Ayu sudah melalang ke berbagai macam negara. Pramoedya Anantara Toer dengan Gadis Pantai-nya bisa mudah dilihat di balik kaca di ruang lobi sewaktu menginjakkan diri ke dalam lembaga ini. Ah, jika dilihat dari depan, tempat ini lebih mirip kedutaan. Setidaknya, IFI adalah kedutaan budaya dari pemerintah Perancis yang lebih mudah dikenal dan diterima masyarakat dari pada Goethe Institut yang bisik-bisik, lebih agak sepi peminat. 

Sebelum menghambur pergi menuju Kiaracondong untuk membeli tiket. Aku bertanya kepada pustakawati berbatik merah dan sudah cukup tua mengenai berapa jumlah pengunjung setia harinya. Dia mengatakan, dengan ragu, kira-kira tiga puluhan. Kebanyakan anak-anak yang les atau dari beberapa universitas sekitar Bandung. Setidaknya lebih agak banyak dari pada IFI Jogja yang lebih mirip kuburan mayat. Yah, Jogja, tempat budaya, seni, pendidikan, dan buku murah saja, hanya sedikit yang bisa dilihat di ruangan semacam itu. 

Waktu sudah semakin siang-malam aku pun buru-buru melangkahkan kskiku. Mencari angkutan kota yang membawaku ke Kiaracondong dan setelah itu melihat Perpustakaan besar yang terlalu jauh ke dalam; DISPUSIPDA. Perpustakaan yang terlalu konyol didirikan jauh di sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar