Senin, 06 Maret 2017

MENINGGALKAN BANDUNG







kereta belum bergerak. dan perjalanan selalu diliputi dingin. masih banyak ruang kosong. teknisi sibuk mengotak-atik AC yang mati di atasku. aku belum sempat mandi sehabis semalaman tidur di lantai stasiun. hanya sekedar mencuci muka langsung nyolong masuk kereta. dan ah, aku masuk di bagian kursi yang salah.

berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. mungkin seperti itulah kehidupanku pada akhirnya. tak betah di satu kota. terus berpindah ke kota lainnya. merenungi kehidupan yang pada akhirnya sekedar terpaksa untuk meneruskannya. dunia membosankan yang harus dengan enggan dijalani.

aku memutuskan meninggalkan Bandung secepatnya setelah sedikit berpikir betapa bodohnya aku berlama-lama di kota itu. membuang-buang uang untuk kota yang tak begitu layak ditinggali adalah sebuah kejahatan. dalam satu sampai dua minggu, kota itu sudah habis. tak ada lagi yang bisa memikat hati kecuali keseharian yang dipaksakan. lalu untuk apa aku memaksakam diri dalam kekonyolan yang secepat kilat langsung aku ketahui?

dari Bandung aku langsung bergerak ke Surabaya. 15/16 jam perjalanan. 685 kilometer. dari pagi jam 5 hingga jam 9/10 malam. perjalanan terlama yang pernah aku masuki. dari kota yang cukup dingin menuju kota yang sangat panas. dari kota pegunungan menuju kota pelabuhan yang terletak di dekat laut. dan anehnya, aku tak sakit. perjalanan adalah terapi terbaik bagi diriku. dan pengetahuan terbaik bagi pengalamanku. kesadaran terbaik bagi keburukanku karena aku cukup tahu, tak satu pun kota yang layak aku tinggali. tak satu pun kota yang menggairahkan bagiku.

aku pun akhirnya terus berjalan agar tak terjebak dalam dunia yang sangat cepat membosankan.

aku sempat berpikir-pikir untuk cukup lama di Bandung yang bukan lagi Paris van Java. begitu cepatnya uangku habis. dan begitu sedikitnya pembaca di ruang-ruang terbuka. aku telah memasuki beberapa perpustakaan yang aku anggap layak sebagai titik tolak. dan beberapa tempat atau ruang terbuka yang seharusnya jadi tempat yang menggairahkan pikiran. sudah berkali-kali aku ke Bandung. bahkan terlalu sering dalam ukuran diriku. kota yang paling sering aku masuki adalah Bandung dan Surakarta. selain Jogja dan Semarang. Jakarta sebenarnya yang paling sering terutama di masa kecilku. dan beberapa kota lainnya, yang membuatku berpikir, Jawa sudah hampir habis. kelak orang akan menengok masa lalu dan sangat menyayangi hari ini. dan Bandung, tak layak aku menghabiskan uang dan waktu di kota semacam itu. kemewahan yang menggelisahkan. bercampur kebanggaan yang konyol. 

mungkin lebih baik aku berhenti berpikir dan diam. sial, otakku tak mau melakukannya. 

awal perjalanan aku sempat jengkel dan cocok dengan perempuan yang satu tempat duduk denganku. tipe yang luar biasa ketus dan aku jawab dengan cukup ketus tapi rasional. semua bermula dari colokan listrik. perempuan itu berpikir aku terlalu lama dan sangat tak sabarnya menyebut diriku tak berperasaan. aku pun menghabisinya dalam beberapa patah kata. mengenai perdebatan semacam ini, jangan pernah bermain-main denganku. yah, padahal bisa saling gantian setelah yang lain selesai. lagian waktu perjalanan yang sangat lama membuat perdebatan macam itu terasa konyol dan buang-buang waktu. untungnya, dia memiliki lakak perempuan yang bisa aku ajak bicara. lebih tepatnya dia yang memulainya.

seorang perempuan muda, dengan anak dan seorang suami. kita membicarakan banyak hal. dari politik hingga dia menceritakan keluarganya. perjalanan menjadi begitu pendek. aku pun memutuskan tidur walau hanya sebentar dan sangat tak pulas. itu pun sudah lebih dari cukup bagiku. dan kaca, menampulkan pemandangan yang buram. sungguh benar-benar sangat menyebalkan ketika kaca nyaris tak menampilkan apa-apa, kecuali gambaran samar dunia luar.

Pasundan. 8A. gerbong 3. ekonomi. selasa 28 februari 2017. 

perempuan yang di depanku menawariku popmie. dan akhirnya tempe oncom. yah, dengan murah hati aku pun memakannya. sampai di Lempuyangan hujan pun turun. melihat Jogja aku pun semakin bosan.

tiga orang perempuan. yang satu anak kecil dan ayahnya. lalu aku. tempatku duduk sangat penuh. logat Jawa Timuran, Sunda, bahasa Indonesia bercampur baur bertambah yang lain-lain. keakraban masih mudah terjadi di perjalanan yang aku jalani. aku hanya tampak lelah dan ingin tidur. beberapa kali main game, mendengarkan musik, dan terkadang tak melakukan apa-apa. aku pun memutuskan untuk membaca Merebut Ruang Kota dan mencari beberapa informasi mengebai Surabaya. Jawa bagian Timur adalah titik buta bagiku. aku nyaris tak tahu apa-apa mengenai beragam kota yang ada di dalamnya. sungguh hal yang sangat menggelikan memang. hidup di pulau Jawa nyaris buta total tentang Jawa benar-benar hal yang sangat memalukan. sangat menyedihkan di era digital seperti sekarang ini.

lagu dangdut dan suara fales terasa sangat tak berperasaan di belakangku. seolah-olah ruang desa dibawa ke ruang dalam kereta. ini tak ubahnya aku berada di bus antar kota yang juga sering melancarkan teror dangdut mania. keinginan agar yang disuka diketahui orang lain beserta suaranya, adalah hal umum yang terjadi di pedesaan dan kota-kota. tapi aku benar-benar ingin menimpuk dangdut cempreng dari gadget itu. suara dari handphone lebih menyakitkan karena memiliki bass yang jelek. cara untuk membuat dangdut itu diam adalah dengan menggerutu cukup keras.

'suaranya terlalu keras. terlalu keras. ini ruang publik,' celetukku dengan cukup keras. yah, di perjalanan aku masih juga kejam terhadap kenikmatan orang lain. dengan cara itu, suara perempuan di belakangku beserta dunia dangdutnya cukup melemah tak sekeras yang tadi. aku pun memutar musik instrumental.

punggungku sudah mulai terasa tak nyaman setiba kereta di Madiun. hari mulai gelap. lampu-lampu menggantikan lanskap remang kaca. aku menenggelamkan diriku ke dalam alunan musik dan buku. entah kenapa, rasa asing mengaliriku. untuk apa sebenarnya perjalananku?

keret berhenti di stasiun Wonokromo. akhirnya aku menemukan tempat duduk dengan kaca cukup jernih sehingga aku bisa melihat jalanan kota Surabaya. tak terlalu buruk rumah-rumah di dekat rel kereta. kereta berjalan tersendat. semakin pelan. aku memandang ke luar jendela kaca. hingga akhirnya, inilah pengembaraan di tanah asing, bagian Jawa yang tak aku mengerti.

aku telah sampai di Stasiun Gubeng. aku mulai menginjakkan kakiku di Surabaya. ya, di Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar