kereta belum bergerak. dan perjalanan selalu diliputi dingin. masih
banyak ruang kosong. teknisi sibuk mengotak-atik AC yang mati di atasku.
aku belum sempat mandi sehabis semalaman tidur di lantai stasiun. hanya
sekedar mencuci muka langsung nyolong masuk kereta. dan ah, aku masuk
di bagian kursi yang salah.
berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. mungkin seperti itulah
kehidupanku pada akhirnya. tak betah di satu kota. terus berpindah ke
kota lainnya. merenungi kehidupan yang pada akhirnya sekedar terpaksa
untuk meneruskannya. dunia membosankan yang harus dengan enggan
dijalani.
aku memutuskan meninggalkan Bandung secepatnya setelah sedikit
berpikir betapa bodohnya aku berlama-lama di kota itu. membuang-buang
uang untuk kota yang tak begitu layak ditinggali adalah sebuah
kejahatan. dalam satu sampai dua minggu, kota itu sudah habis. tak ada
lagi yang bisa memikat hati kecuali keseharian yang dipaksakan. lalu
untuk apa aku memaksakam diri dalam kekonyolan yang secepat kilat
langsung aku ketahui?
dari Bandung aku langsung bergerak ke Surabaya. 15/16 jam perjalanan.
685 kilometer. dari pagi jam 5 hingga jam 9/10 malam. perjalanan
terlama yang pernah aku masuki. dari kota yang cukup dingin menuju kota
yang sangat panas. dari kota pegunungan menuju kota pelabuhan yang
terletak di dekat laut. dan anehnya, aku tak sakit. perjalanan adalah
terapi terbaik bagi diriku. dan pengetahuan terbaik bagi pengalamanku.
kesadaran terbaik bagi keburukanku karena aku cukup tahu, tak satu pun
kota yang layak aku tinggali. tak satu pun kota yang menggairahkan
bagiku.
aku pun akhirnya terus berjalan agar tak terjebak dalam dunia yang sangat cepat membosankan.
aku sempat berpikir-pikir untuk cukup lama di Bandung yang bukan lagi Paris van Java. begitu
cepatnya uangku habis. dan begitu sedikitnya pembaca di ruang-ruang
terbuka. aku telah memasuki beberapa perpustakaan yang aku anggap layak
sebagai titik tolak. dan beberapa tempat atau ruang terbuka yang
seharusnya jadi tempat yang menggairahkan pikiran. sudah berkali-kali
aku ke Bandung. bahkan terlalu sering dalam ukuran diriku. kota yang
paling sering aku masuki adalah Bandung dan Surakarta. selain Jogja dan
Semarang. Jakarta sebenarnya yang paling sering terutama di masa
kecilku. dan beberapa kota lainnya, yang membuatku berpikir, Jawa sudah
hampir habis. kelak orang akan menengok masa lalu dan sangat menyayangi
hari ini. dan Bandung, tak layak aku menghabiskan uang dan waktu di kota
semacam itu. kemewahan yang menggelisahkan. bercampur kebanggaan yang
konyol.
mungkin lebih baik aku berhenti berpikir dan diam. sial, otakku tak mau melakukannya.
awal perjalanan aku sempat jengkel dan cocok dengan perempuan yang
satu tempat duduk denganku. tipe yang luar biasa ketus dan aku jawab
dengan cukup ketus tapi rasional. semua bermula dari colokan listrik.
perempuan itu berpikir aku terlalu lama dan sangat tak sabarnya menyebut
diriku tak berperasaan. aku pun menghabisinya dalam beberapa patah
kata. mengenai perdebatan semacam ini, jangan pernah bermain-main
denganku. yah, padahal bisa saling gantian setelah yang lain selesai.
lagian waktu perjalanan yang sangat lama membuat perdebatan macam itu
terasa konyol dan buang-buang waktu. untungnya, dia memiliki lakak
perempuan yang bisa aku ajak bicara. lebih tepatnya dia yang memulainya.
seorang perempuan muda, dengan anak dan seorang suami. kita
membicarakan banyak hal. dari politik hingga dia menceritakan
keluarganya. perjalanan menjadi begitu pendek. aku pun memutuskan tidur
walau hanya sebentar dan sangat tak pulas. itu pun sudah lebih dari
cukup bagiku. dan kaca, menampulkan pemandangan yang buram. sungguh
benar-benar sangat menyebalkan ketika kaca nyaris tak menampilkan
apa-apa, kecuali gambaran samar dunia luar.
Pasundan. 8A. gerbong 3. ekonomi. selasa 28 februari 2017.
perempuan yang di depanku menawariku popmie. dan akhirnya tempe
oncom. yah, dengan murah hati aku pun memakannya. sampai di Lempuyangan
hujan pun turun. melihat Jogja aku pun semakin bosan.
tiga orang perempuan. yang satu anak kecil dan ayahnya. lalu aku.
tempatku duduk sangat penuh. logat Jawa Timuran, Sunda, bahasa Indonesia
bercampur baur bertambah yang lain-lain. keakraban masih mudah terjadi
di perjalanan yang aku jalani. aku hanya tampak lelah dan ingin tidur.
beberapa kali main game, mendengarkan musik, dan terkadang tak melakukan
apa-apa. aku pun memutuskan untuk membaca Merebut Ruang Kota dan
mencari beberapa informasi mengebai Surabaya. Jawa bagian Timur adalah
titik buta bagiku. aku nyaris tak tahu apa-apa mengenai beragam kota
yang ada di dalamnya. sungguh hal yang sangat menggelikan memang. hidup
di pulau Jawa nyaris buta total tentang Jawa benar-benar hal yang sangat
memalukan. sangat menyedihkan di era digital seperti sekarang ini.
lagu dangdut dan suara fales terasa sangat tak berperasaan di
belakangku. seolah-olah ruang desa dibawa ke ruang dalam kereta. ini tak
ubahnya aku berada di bus antar kota yang juga sering melancarkan teror
dangdut mania. keinginan agar yang disuka diketahui orang lain beserta
suaranya, adalah hal umum yang terjadi di pedesaan dan kota-kota. tapi
aku benar-benar ingin menimpuk dangdut cempreng dari gadget itu. suara
dari handphone lebih menyakitkan karena memiliki bass yang jelek. cara
untuk membuat dangdut itu diam adalah dengan menggerutu cukup keras.
'suaranya terlalu keras. terlalu keras. ini ruang publik,' celetukku
dengan cukup keras. yah, di perjalanan aku masih juga kejam terhadap
kenikmatan orang lain. dengan cara itu, suara perempuan di belakangku
beserta dunia dangdutnya cukup melemah tak sekeras yang tadi. aku pun
memutar musik instrumental.
punggungku sudah mulai terasa tak nyaman setiba kereta di Madiun.
hari mulai gelap. lampu-lampu menggantikan lanskap remang kaca. aku
menenggelamkan diriku ke dalam alunan musik dan buku. entah kenapa, rasa
asing mengaliriku. untuk apa sebenarnya perjalananku?
keret berhenti di stasiun Wonokromo. akhirnya aku menemukan tempat
duduk dengan kaca cukup jernih sehingga aku bisa melihat jalanan kota
Surabaya. tak terlalu buruk rumah-rumah di dekat rel kereta. kereta
berjalan tersendat. semakin pelan. aku memandang ke luar jendela kaca.
hingga akhirnya, inilah pengembaraan di tanah asing, bagian Jawa yang
tak aku mengerti.
aku telah sampai di Stasiun Gubeng. aku mulai menginjakkan kakiku di Surabaya. ya, di Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar