Letak yang sangat jauh.
menunggu yang terlalu lama. pengalaman yang tak menyenangkan sejak
pertamakali. menit demi berlalu. gojek tak kunjung datang. untuk sekedar
mencapai perpustakaan, aku menunggu lebih dari 20 menit. pengendara
yang menolak dan membatalkan pesananku berulang-ulang hingga membuatku
cukup sebal. akhirnya ada seorang Tua, pengendara gojek yang mau
mengantarku. aku berhutang budi padanya!
jarak antara stasiun
Kiaracondong ke Dispusipda kira-kira 3,6 km. aku tak mungkin berjalan
kaki ke arah situ. tempat yang tak aku kenal dengan kondisi jalan yang
tak begitu menyenangkan. dan gerimis juga sudah berjatuhan. apalah daya
seorang pengembara yang sendirian seperti aku ini?
aku pun masih harus
menunggu gojek 10 menit lagi. setelah itu pun, gojek yang sudah aku
naiki, terseok-seok melewati jalanan Bandung yang sebagiannya sempit dan
padat. melewati jalan PSM yang mirip dengan Jakarta tapi masih enak
dipandang. jalan menyempit dan sedikit susah kalau sudah dua mobil
berpapasan. dan oh ya, pak Gojek pun nyaris bingung mengenai tempat yang
ingin aku tuju padahal sudah sering ke situ. lalu, sebuah bangun besar
mencuat dari kejauhan dengan warna kaca birunya yang menyolok. itu dia!
pikirku. aku pun berkata nyaris semacam itu ke gojek yang sedang
mengantar aku.
tak perlu waktu lama,
sampailah aku di perpustakan besar yang mirip gedung perkantoran atau
apartemen di kota-kota besar. ada seorang remaja sekolah menengah atas
cantik yang berdiri terpaku di depan gerbang. aku menanyainya tapi dia
tak menjawab. sial pikirku. aku pun berjalan terseok-seok ke dalam,
bertanya ke penjaga untuk sekedar meyakinkan. lalu menitipkan tas di
loker. membawa barang-barang yang aku anggap penting semacam gadget,
buku, catatan harian, dan charger ke dalam totebag. setelah agak ribet
membongkar tas, meletakkannya ke dalam loker, aku berjalan mencari
toilet. pertama kali masuk, suasananya sudah mirip lobi hotel.
bangku-bangku yang dinamis dan warna-warni. lift dan eskalator yang
semakin menambah kesan semacam itu. dan ketika aku berjalan menuju
toilet ada semacam museum atau galeri tokoh-tokoh yang berjasa terhadap
Kota Bandung, Jawa Barat, orang Sunda, dan Indonesia. sangat bagus
pikirku. kawasan ini bergerak lebih jauh dari kota-kota lainnya dengan
memberi penghargaan semacam itu. penghargaan yang jarang sekali diterima
oleh seniman, tokoh publik, olahragawan, dan lainnya yang berjasa dan
menginspirasi. ah, toiletnya pun lebih bagus dari pada Grahatama Pustaka
milik Jogjakarta yang mirip seperti terserang ledakan terorisme.
setelah dari toilet aku pun buru-buru ke atas. menaiki lift dan tersesat
di lantai 3 yang tak aku inginkan yang berisi ruang majalah, koran, dan
remaja. di lantai ini pun aku cukup jengkel karena diingatkan untuk
menitipkan totebagku yang mereka, petugas, samakan dengan tas biasa.
aku mendesis. tambah
geram saat mencoba berbagai macam colokan yang ternyata tak dialiri
listrik. oh perpustakaan brengsek! apagunanya kau bertubuh besar dan
seolah modern jika listrik untuk proses mengisi baterai hampir susah
ditemukan! di dalam ruangan buku pun, ketika aku berada di lantai dua,
colokan listrik yang hidup susah ditemukan. ini perpustakaan macam apa
sih? dan ketika berbincang sedikit dengan seorang pengunjung, katanya,
wifi pun tak jalan jika berada di dalam ruangan buku. oh hebat!
aku menanyai beberapa
pengunjung, menanyakan soal perpus ini. seorang laki-laki muda berjaket
hitam mengatakan kalau dulu sangat ramai dan colokan semua teraliri
listrik. dan kini, yah, seperti inilah bentuknya. bangunan di lantai
bawah yang sudah mulai kusam mirip kamar kos yang dindingnya digunakan
untuk bersandar. dan pengunjung yang tak terlalu ramai dengan bangunan
sebesar ini. saat aku mencoba melihat buku-buku, juga sangat tak terlalu
menarik. isinya nyaris sama dengan perpus yang ada di Jogja dan
lainnya. terlebih, keeleganan sebuah perpus jadi mustahil dengan cetakan
buku, yang kebanyakan tak terlalu enak untuk dipandang. mungkin itulah
sebabnya aku lebih nyaman berada di perpustakaan semacam IFI, Goethe
Institut, atau yang dulu aku sukai, Freedom Institut.
buku cetakan Indonesia,
seringkali buruk dan mahal. serta sangat tak enak dipandang dan
menyebalkan jika ditaruh ke dalam rak. dan tentunya sangat mahal!
aku menemukan Kata-Kata milik Jean Paul Satre. dan sebuah buku yang ingin aku miliki, Cerdas Jenaka Cara Nobelis Fisika: Petualangan Hidup Richard P. Feynman. buku
keluaran Mizan ini, mungkin adalah penemuan lainnya yang masuk daftar
yang kelak akan aku cari. kalau aku masih hidup tentunya. ruangan
sedikit ramai dan kebanyakan diisi oleh para perempuan. mereka
mengobrol. mengerjakan tugas. berselfir ria. dan jarang yang serius
membaca buku. kegunaan perpustakaan tak ubahnya sekedar perluasan dari
ruang kelas, cafe, dan rumah.
nyaris di mana pun,
ketika aku mengisi daftar tamu, para perempuanlah yang lebih sering
memenuhi daftar tamu tersebut. tanda-tanda dekadensi laki-laki Indonesia
Modern pun terlihat di sini dengan cukup mudah. oh, apakah para
laki-laki di negara ini merasa tersudut jika para perempuan semakin
cerdas dan mengambil banyak tepat? jawabannya ya dan tidak. dan menyoal
buku, laki-laki harusnya mulai malu dengan perempuan. di sebuah
perjalanan atau ruang publik. aku lebih sering melihat perempuan
memegang buku dari pada laki-laki yang memegang buku. era yang tragis
bagi para laki-laki.
di perpustakaan ini,
perempuanlah yang menjadi pengunjung terbanyak. dan malam ini, aku lebih
banyak melihat sosok perempuan dari pada laki-laki. dan sedikit buku
menarik yang bisa menghibur hatiku.
aku menitipkan jaket di
penjaga ruang dewasa 1. lalu setelah kesal dan putus asa mengenai
colokan listrik, pada akhirnya aku meminta ijin untuk mengisi baterai di
tempat mereka. dan waktuku habis hanya sekedar untuk gadget yang
perlahan-lahan mulai menggerogotiku. baterai yang habis, lama kelamaan
menjadi beban mental para petualang dan pengembara. terlebih mereka yang
menulis semacam aku. sejujurnya, aku sudah sangat resah akan hal itu.
keberadaan gadget dengan baterainya, semakin membatasi sebuah
pengembaraan. memangkas waktu eksplorasi. dan sialnya, ketergantungan
yang akut.
karena buku-buku tak menarik, dan yang menarik sudah aku miliki, aku hanya membawa dua buku, Kata-Kata dan Cerdas Jenaka ke
atas meja. menghabiskan waktu berlama-lama untuk menulis perjalananku
dan membuka-buka buku yang isinya cukup menyita waktuku. waktu berjalan,
orang-orang berganti. lagi-lagi perempuan dan perempuan. sangat mirip
melihat kaumku sendiri semakin tertinggal di dalam wacana,ilmu
pengetahuan, dan dunia buku-buku. dan ketika aku berganti ruangan, ke
ruangan dewasa 2, suasanya ruangnya terlihat lebih elegan dan luas.
benar-benar seolah berada di sebuah hotel. lagi-lagi, yang mengisi
ruangan ini kebanyakan perempuan. ya perempuan. dan suasana sudah cukup
sepi. hanya ada beberapa puluh orang. dan ah, akhirnya aku mendapatkan
tempat listrik mengalir!
di tempat ini pun,
colokan listrik tak banyak. tempat yang memang agak konyol bagi pembaca
buku modern. buku-bukunya pun tak menggugah selera. setelah
melihat-lihat, kebanyakan bukan buku intelektual dan digunakan untuk
berpikir bebas. tapi lebih banyak pada buku teks atau modul. filsafat
tak seberapa. psikologi sedikit. sastra juga begitu. apalagi seni yang
segelintir. intinya tak memuaskan. yah, sebelum jam 8, aku pun sudah
harus keluar karena perpustakaan akan tutup. dan, di sinilah titik
paling menjengkelkannya.
di luar, hujan turun
cukup deras. semua orang sudah mulai pergi dan tinggal aku sendiri dan
para penjaga. Go-Car tak kunjung datang. bahkan seringkali membatalkan
pesananku. sial, sampai kapan aku harus tertahan di sini? jam 9, Go-Car
tiba. dan aku sangat berterimakasih kepada dia yang mau menjemputku!
dalam artian banyak,
bagi seorang pengembara, atau yang tak memiliki kendaraan, datang dan
pulang sama-sama menjengkelkannya. dan aku sudah cukup jengkel dengan
DISPUSIPDA. hingga akhirnya aku sampai di Kiaracondong. membeli nasi
padang. dan tidur hingga esok hari di Stasiun yang akan membawaku ke
Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar