Senin, 06 Maret 2017

BANDUNG: DISPUSIPDA







Letak yang sangat jauh. menunggu yang terlalu lama. pengalaman yang tak menyenangkan sejak pertamakali. menit demi berlalu. gojek tak kunjung datang. untuk sekedar mencapai perpustakaan, aku menunggu lebih dari 20 menit. pengendara yang menolak dan membatalkan pesananku berulang-ulang hingga membuatku cukup sebal. akhirnya ada seorang Tua, pengendara gojek yang mau mengantarku. aku berhutang budi padanya! 

jarak antara stasiun Kiaracondong ke Dispusipda kira-kira 3,6 km. aku tak mungkin berjalan kaki ke arah situ. tempat yang tak aku kenal dengan kondisi jalan yang tak begitu menyenangkan. dan gerimis juga sudah berjatuhan. apalah daya seorang pengembara yang sendirian seperti aku ini?

aku pun masih harus menunggu gojek 10 menit lagi. setelah itu pun, gojek yang sudah aku naiki, terseok-seok melewati jalanan Bandung yang sebagiannya sempit dan padat. melewati jalan PSM yang mirip dengan Jakarta tapi masih enak dipandang. jalan menyempit dan sedikit susah kalau sudah dua mobil berpapasan. dan oh ya, pak Gojek pun nyaris bingung mengenai tempat yang ingin aku tuju padahal sudah sering ke situ. lalu, sebuah bangun besar mencuat dari kejauhan dengan warna kaca birunya yang menyolok. itu dia! pikirku. aku pun berkata nyaris semacam itu ke gojek yang sedang mengantar aku. 

tak perlu waktu lama, sampailah aku di perpustakan besar yang mirip gedung perkantoran atau apartemen di kota-kota besar. ada seorang remaja sekolah menengah atas cantik yang berdiri terpaku di depan gerbang. aku menanyainya tapi dia tak menjawab. sial pikirku. aku pun berjalan terseok-seok ke dalam, bertanya ke penjaga untuk sekedar meyakinkan. lalu menitipkan tas di loker. membawa barang-barang yang aku anggap penting semacam gadget, buku, catatan harian, dan charger ke dalam totebag. setelah agak ribet membongkar tas, meletakkannya ke dalam loker, aku berjalan mencari toilet. pertama kali masuk, suasananya sudah mirip lobi hotel. bangku-bangku yang dinamis dan warna-warni. lift dan eskalator yang semakin menambah kesan semacam itu. dan ketika aku berjalan menuju toilet ada semacam museum atau galeri tokoh-tokoh yang berjasa terhadap Kota Bandung, Jawa Barat, orang Sunda, dan Indonesia. sangat bagus pikirku. kawasan ini bergerak lebih jauh dari kota-kota lainnya dengan memberi penghargaan semacam itu. penghargaan yang jarang sekali diterima oleh seniman, tokoh publik, olahragawan, dan lainnya yang berjasa dan menginspirasi. ah, toiletnya pun lebih bagus dari pada Grahatama Pustaka milik Jogjakarta yang mirip seperti terserang ledakan terorisme. setelah dari toilet aku pun buru-buru ke atas. menaiki lift dan tersesat di lantai 3 yang tak aku inginkan yang berisi ruang majalah, koran, dan remaja. di lantai ini pun aku cukup jengkel karena diingatkan untuk menitipkan totebagku yang mereka, petugas, samakan dengan tas biasa. 

aku mendesis. tambah geram saat mencoba berbagai macam colokan yang ternyata tak dialiri listrik. oh perpustakaan brengsek! apagunanya kau bertubuh besar dan seolah modern jika listrik untuk proses mengisi baterai hampir susah ditemukan! di dalam ruangan buku pun, ketika aku berada di lantai dua, colokan listrik yang hidup susah ditemukan. ini perpustakaan macam apa sih? dan ketika berbincang sedikit dengan seorang pengunjung, katanya, wifi pun tak jalan jika berada di dalam ruangan buku. oh hebat! 

aku menanyai beberapa pengunjung, menanyakan soal perpus ini. seorang laki-laki muda berjaket hitam mengatakan kalau dulu sangat ramai dan colokan semua teraliri listrik. dan kini, yah, seperti inilah bentuknya. bangunan di lantai bawah yang sudah mulai kusam mirip kamar kos yang dindingnya digunakan untuk bersandar. dan pengunjung yang tak terlalu ramai dengan bangunan sebesar ini. saat aku mencoba melihat buku-buku, juga sangat tak terlalu menarik. isinya nyaris sama dengan perpus yang ada di Jogja dan lainnya. terlebih, keeleganan sebuah perpus jadi mustahil dengan cetakan buku, yang kebanyakan tak terlalu enak untuk dipandang. mungkin itulah sebabnya aku lebih nyaman berada di perpustakaan semacam IFI, Goethe Institut, atau yang dulu aku sukai, Freedom Institut. 

buku cetakan Indonesia, seringkali buruk dan mahal. serta sangat tak enak dipandang dan menyebalkan jika ditaruh ke dalam rak. dan tentunya sangat mahal!

aku menemukan Kata-Kata milik Jean Paul Satre. dan sebuah buku yang ingin aku miliki, Cerdas Jenaka Cara Nobelis Fisika: Petualangan Hidup Richard P. Feynman. buku keluaran Mizan ini, mungkin adalah penemuan lainnya yang masuk daftar yang kelak akan aku cari. kalau aku masih hidup tentunya. ruangan sedikit ramai dan kebanyakan diisi oleh para perempuan. mereka mengobrol. mengerjakan tugas. berselfir ria. dan jarang yang serius membaca buku. kegunaan perpustakaan tak ubahnya sekedar perluasan dari ruang kelas, cafe, dan rumah. 

nyaris di mana pun, ketika aku mengisi daftar tamu, para perempuanlah yang lebih sering memenuhi daftar tamu tersebut. tanda-tanda dekadensi laki-laki Indonesia Modern pun terlihat di sini dengan cukup mudah. oh, apakah para laki-laki di negara ini merasa tersudut jika para perempuan semakin cerdas dan mengambil banyak tepat? jawabannya ya dan tidak. dan menyoal buku, laki-laki harusnya mulai malu dengan perempuan. di sebuah perjalanan atau ruang publik. aku lebih sering melihat perempuan memegang buku dari pada laki-laki yang memegang buku. era yang tragis bagi para laki-laki. 

di perpustakaan ini, perempuanlah yang menjadi pengunjung terbanyak. dan malam ini, aku lebih banyak melihat sosok perempuan dari pada laki-laki. dan sedikit buku menarik yang bisa menghibur hatiku. 

aku menitipkan jaket di penjaga ruang dewasa 1. lalu setelah kesal dan putus asa mengenai colokan listrik, pada akhirnya aku meminta ijin untuk mengisi baterai di tempat mereka. dan waktuku habis hanya sekedar untuk gadget yang perlahan-lahan mulai menggerogotiku. baterai yang habis, lama kelamaan menjadi beban mental para petualang dan pengembara. terlebih mereka yang menulis semacam aku. sejujurnya, aku sudah sangat resah akan hal itu. keberadaan gadget dengan baterainya, semakin membatasi sebuah pengembaraan. memangkas waktu eksplorasi. dan sialnya, ketergantungan yang akut. 

karena buku-buku tak menarik, dan yang menarik sudah aku miliki, aku hanya membawa dua buku, Kata-Kata dan Cerdas Jenaka ke atas meja. menghabiskan waktu berlama-lama untuk menulis perjalananku dan membuka-buka buku yang isinya cukup menyita waktuku. waktu berjalan, orang-orang berganti. lagi-lagi perempuan dan perempuan. sangat mirip melihat kaumku sendiri semakin tertinggal di dalam wacana,ilmu pengetahuan, dan dunia buku-buku. dan ketika aku berganti ruangan, ke ruangan dewasa 2, suasanya ruangnya terlihat lebih elegan dan luas. benar-benar seolah berada di sebuah hotel. lagi-lagi, yang mengisi ruangan ini kebanyakan perempuan. ya perempuan. dan suasana sudah cukup sepi. hanya ada beberapa puluh orang. dan ah, akhirnya aku mendapatkan tempat listrik mengalir! 

di tempat ini pun, colokan listrik tak banyak. tempat yang memang agak konyol bagi pembaca buku modern. buku-bukunya pun tak menggugah selera. setelah melihat-lihat, kebanyakan bukan buku intelektual dan digunakan untuk berpikir bebas. tapi lebih banyak pada buku teks atau modul. filsafat tak seberapa. psikologi sedikit. sastra juga begitu. apalagi seni yang segelintir. intinya tak memuaskan. yah, sebelum jam 8, aku pun sudah harus keluar karena perpustakaan akan tutup. dan, di sinilah titik paling menjengkelkannya.

di luar, hujan turun cukup deras. semua orang sudah mulai pergi dan tinggal aku sendiri dan para penjaga. Go-Car tak kunjung datang. bahkan seringkali membatalkan pesananku. sial, sampai kapan aku harus tertahan di sini? jam 9, Go-Car tiba. dan aku sangat berterimakasih kepada dia yang mau menjemputku! 

dalam artian banyak, bagi seorang pengembara, atau yang tak memiliki kendaraan, datang dan pulang sama-sama menjengkelkannya. dan aku sudah cukup jengkel dengan DISPUSIPDA. hingga akhirnya aku sampai di Kiaracondong. membeli nasi padang. dan tidur hingga esok hari di Stasiun yang akan membawaku ke Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar