Senin, 06 Maret 2017

SURABAYA: JEMBATAN MERAH








Kota tua yang terasa ditinggalkan. Sangat tak indah. Menyedihkan. Seperti kota tua lainnya, nasibnya nyaris serupa. 

Saat aku memasuki kawasan kota tua dengan alasan ingin melihat jembatan merah. Aku sedikit berharap dengan kota ini. Mungkin aku tak akan lagi melihat kembaran kota tua Jakarta dan kota lama Semarang. Tapi, motor yang aku naiki, melaju sedang, di antara  bangunan-bangunan yang terlihat angker. Dan suasana yang cukup membuatku tak lagi berharap. 

Tak begitu terawat. Bangunan-bangunan yang diabaikan manusia. Bau amis yang menyengat. Beberapa sampah tergeletak di jalanan. Lampu-lampu yang redup. Mirip kota Lama di Semarang saat malam hari. 

Kami menitipkan motor di dekat penjual makanan yang cukup ramai. Berjalan kaki. Memandang sekitar. Sepi. Tak jauh beda dengan jalan Tunjungan. Hanya orang tolol yang berharap tempat ini ramai dan mungkin menyenangkan untuk digunakan membaca. Mengenai pembaca buku, jelas hal yang mustahil. Aku sendiri sudah bosan memikirkan hal itu.

Kami berjalan. Baru berapa langkah sudah dihadang beragam jenis becak, angkutan kota berkarat yang menyedihkan, dan ojek. Aku mengajukan usulan untuk menghitung beberapa banyak kami dipanggil untuk masuk ke dalam becak dan angkutan mereka. Sialnya, aku baru menghitung antara 3-5, lalu melupakannya. Mungkin mereka tidak penting bagi kami. Sementara kami sangat penting bagi kehidupan mereka. Silang sosial yang berat sebelah memang. Aku jadi teringat buku Merebut Ruang Kota.

Dilihat sekilas, kota tua ini tak seburuk kota tua lainnya. Masih cukup bersih dan agak terawat. Yah, setidaknya aku tak akan terjun bebas di sungai yang baunya sangat menjijikkan dan amis. Berwarna kecoklatan dan sangat tak bersih. Persis seperti yang V.S. Naipul gambarkan di tahun 1981. Tahun di mana aku masih belum lahir. Hah..

Kami berjalan sebentar menuju taman Jembatan Merah Plaza. Taman yang ditata cukup baik dan teduh. Menghilangkan sedikit wajah buruk sebuah kota yang tak lagi mendapatkan penghargaan seperti awal dibangun. Pergeseran kota yang berorientasi air, sungai, dan laut, di sisi Barat Sungai Mas digantikan dengan kota-kota baru di sisi Timur Sungai dan semakin berkembang ke bagian lainnya dengan mencaplok berbagai perkampungan dan desa. Sayangnya, aku tak sempat belajar banyak mengenai arsitektur kota. Sungguh menyedihkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar