Malang cukup dingin.
Awal pertemuan yang penuh ilusi.
Aku
tiba di terminal Arjosari. Mencari makan. Lalu naik angkutan kota warna
biru, AG. Melewati perumahan dan sungai kecil yang cukup banyak sampah
terlihat di sana-sini. Sebanyak angkutan kota yang kosong melompong.
Rasanya bagai berada di Bogor dengan banyak angkutan kota berseliweran
tiada henti.
Malang memiliki banyak pohon. Juga, yah, banyak macet. Sial.
Jalan jenderal Ahmad
Yani dan sebuah jembatan panjang. Trotoar yang dihabisi pepohonan. Retak. Dan pohon-pohon yang akhirnya semakin menciut dikalahkan oleh
berbagai bangunan yang ada. Rasa-rasanya aku sedang berada di pinggiran.
Hampir 8 kilometer menggunakan Go-Jek. Sayang Go-Jek tak bisa
menjemputnya. Dan aku tak tahu, berapa jarak tempuh jika memakai
angkutan kota.
Di sinilah aku berada.
Di dalam angkutan kota yang akan cukup lama membuatku terdampar di
dalamnya. Dan macet langsung menyergapku tanpa ampun dan malu-malu. Kota
brengsek. Ya sama dengan Bandung. Apa pun jenis kotanya. Jika baru
pertama menginjakkan kaki di dalamnya sudah langsung terserang macet.
Maka kota itu adalah kota brengsek. Malang, rasa-rasanya memenuhi syarat
menjadi salah satu kota sialan yang tak begitu layak dikunjungi. Masa
kejayaannya sudah habis. Apakah memang seperti itu? Lagian aku belum
mencapai pusat kotanya.
Dan udara begitu panas
di dalam angkutan ini. Embusan angin sedikit menyelamatkanku. Kemacetan
membuatku ingin mengutuk kota ini sebanyak yang aku mau. Mobil-mobil
terlihat sangat mencemaskan dan mengancam.
Sekitar jalan Ahmad Yani
20, laju gerak roda sudah mulai kencang. Awal yang sangat mirip jika
berada di Semarang. Sedang trotoar hilang entah ke mana. Rumah-rumah
kecil buruk rupa di sisi kiri. Satu dua bangunan besar yang menjulang.
Hotel Ibis Style. Menjengkelkan. Masak malah hotel? Lalu lampu merah dan
la masih merah yang jika dihitung bisa membuat aku ingin mencopot
kepalaku. Pom bensin bagikan berisi orang-orang yang sedang menunggu
raskin. Sangat panjang. Jumlah kendaraan mulai banyak lagi.
Sekarang berada di jalan Letjen Sutoyo. Dan ya kambing muda, macet!
Mobil menggurita. Mobil
oh mobil. Para pemakai mobil memang harus mulai dimusnahkan dari muka
bumi ini. Penduduk yang terus bertambah, akan membuat jalanan semakin
menderita jika semuanya memiliki mobil dan menaikinya setiap hari. Dan
masih tak terlihat tanda-tanda trotoar. Dalam sekali pandang, secara
keseluruhan aku akan langsung mengatakan, lebih indah Surabaya.
Kekurangan Surabaya hanya panas dan nyamuk serta beberapa hal kecil
lainnya. Kota ini nyaris terlihat mirip Semarang. Kota yang aku sebut
sebagai Neraka.
Aku mirip dipanggang di
dalam sini. Sungguh sangat panas. Di depanku angkutan kota bobrok masih
tetap saja difungsikan. Mobil menghabisi 75 persen lebar jalan. Sedikit
pohon. Angin pun berembus. Oh pohon terimakasih sudah menyejukkanku. Dan
pesepeda pun harus berada di pinggiran walau sesekali menerobos ke
tengah. Itu pun jumlahnya sekedar dua ekor. Tak banyak. Aku mengeluarkan
tanganku dari jendela. Oh panas. Ya ternyata panas. Kota Malang pun
sekarang sudah sangat panas. Neraka baru berikutnya sudah tercipta.
Sial, tak seindah
Surabaya atau Bandung. Sudahlah. Aku sudah hilang harapan. Semakin
menuju pusat kota, panas menguar kian menakutkan. Sampah berkeliaran
dengan bebasnya di jalanan. Gedung-gedung kusam. Dan mobil yang
keterlaluan banyaknya! Pohon-pohon hanya sekedar terlihat satu dua dan
masih tak ada trotoar layak yang terlihat. Sesekali pesepeda dengan
orang tua mengayuh di tengah terik matahari dan kendaraan-kendaraan
keparat.
Gereja Immanuel
terlihat. Aku sudah hampir sampai. McD jauh lebih besar dan ikonik. Lucu
memang. Dan sampailah aku di Alun-Alun Malang. Pusat sebuah kota yang,
sangat mengecewakan.
Aku menaiki jembatan yang penuh dengan coretan tak jelas. banyak sampah di jembatan ini. dan tentunya, bau pesing yang luar biasa menyengat. Aku pun terus berjalan dengan perasaan ingin mengutuki apa saja. Terlihat banyak
anak-anak pemakai BMX. Orang-orang tua dan segala jenis umur meramaikan
Taman Alun-alun atau lebih dikenal sebagai Taman Merdeka. Dan trotoar
masih terlihat tak menyenangkan.
Karena waktu sudah sangat menipis. Aku pun segera memesan Go-Jek. menuju Perpustakaan Kota Umun secepatnya. Dengan begitu aku akan lebih cepat keluar dari kota sialan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar