Warung Ijo, seperti
itulah namanya. letaknya di dekat kampus UKDW. selalu ramai dan sering
penuh sesak. warung yang berdiri sejak 1945, katanya, dan terus bertahan
melewati zaman, mengingatkanku dengan berbagai macam warung tradisional
di penjuru Jawa Tengah. yang hari ini semakin tergantikan dengan warung
padang, tegal, angkringan, atau semacam restoran.
rasa-rasanya sudah empat
atau lima kali aku mencoba menikmatinya. terlebih melihat Jogja adalah
kota yang miskin kuliner, bumbu, dan rempah, jelas-jelas sangat senang
menemukan gorengan yang cukup renyah, soto dengan harga murah, dan
suasana yang mirip di masa kecilku. di mana para orang tua dari berbagai
macam usia dan pangkat, makan dengan lahap tanpa menghiraukan tempat
yang seadanya. suasanya sangat kekeluargaan. hangat. dan tak perlu repot
dengan menjaga citra diri. suasana yang dikembalikan oleh Bentara
Budaya. suasana yang hampir hilang digantikan oleh angkringan yang
semakin menjamur.
angkringan, sebenarnya
semakin dikuasai oleh anak-anak muda. nasi yang sedikit dan tak
bervariasi, membuat orang-orang tua seperti di warung Ijo jarang
terlihat. terlebih tempat yang sangat terbatas dan makanan yang sangat
buruk dan hambar. walaupun begitu, ada beberapa titik di mana angkringan
dijadikan tujuan makan para orang berusia tua, seperti angkringan di
dekat stadiun Kridosono dan yang lainnya.
bagiku sendiri,
angkringan Jogja berkualitas sangat rendah. berbagai macam gorengannya
sangat keras dan miskin bumbu. seolah dikasih pengawet dan semacamnya.
dan nasi bungkusannya hanya sekedar tumis tempe dan sambal seadanya.
dalam hal kuliner saja, Jogja sangat menyebalkan. Gudeg pun terasa
hambar dan hanya terasa manis kecap. berbeda dengan Semarang sekitarnya
yang angkringan, nasi tegal, warung biasa dan lainnya sangat kuat akan
bumbu, rasa pedas, dan kerenyahannya. Jogja dalam hal kuliner, termasuk
sangat miskin dan menandakan kurangnya kreativitas. bahkan mangutnya pun
nyaris tak terasa dan hanya sekedar ikan lele yang tak begitu
menggairahkan dibandingkan mangut pesisir yang pedas dan terbuat dari
ikan pari.
warung tegal pun susah
dicari. begitu juga warung semacam Warung Ijo. angkringan lebih banyak
menjamur beserta penyetan yang menggurita. jika hidup di Jogja sangatlah
pas-pasan, pilihan makanan yang ada sangat kekurangan gizi dan
meresahkan. aku harus mencari tempat-tempat khusus untuk mencari warung
yang menjual berbagai macam jenis sayuran dan cukup banyak pilihan menu.
setiap hari makan nasi
angkringan, mie ayam atau bakso, nasi goreng, bakmie, dan masakan
Padang, jelas-jelas membosankan. masakan Jepang, Korea, Eropa, dan
lainnya, bukanlah jenis masakan yang bisa dinikmati setiap hari atau
menu yang pas. dan bagiku sendiri sangat tak cocok. lagian, aku juga tak
banyak uang akhir-akhir ini. yah, setidaknya, Warung Ijo-lah, tempat
yang seharusnya semakin banyak dikembangkan, dilindungi, dan
dilestarikan bukanya angkringan yang miskin bumbu dan dimasak dengan
kondisi sangat buruk.
saat melihat Warung Ijo,
dengan para orang tua yang usianya ada di atas 80 an, hingga kadang
mendekati 100 tahun. benar-benar terasa menenangkan. terkadang aku
melihat beberapa anak muda seusiaku. dari perempuan hingga laki-laki.
tapi jumlahnya tak seberapa. yah, bisa dibilang Warung Ijo adalah tempat
para orang tua berkumpul dan juga mungkin bernostalgia.
soto seharga lima ribu
rupiah dan gorengan renyah yang dijual lima ratusan, sudah cukup membuat
perut kenyang. air putih gratis tentunya. dibandingkan makan di
angkringan sebenarnya lebih memuaskan di Warung Ijo.
suasananya begitu hangat dan bersahabat.
Jogja semakin tenggelam
oleh beragam cafe dan burjo. yang suasananya terkesan mirip di berbagai
macam galeri seni. ada semacam kekakuan dan keasingan di dalamnya.
itulah kenapa, aku tak terlalu betah di cafe dan sejenisnya. ada jarak
yang terlalu lebar di tempat-tempat semacam itu. yang mencerminkan
kondisi kejiwaan kita sendiri.
dan jika berbicara
mengenai Jogja, tumbuh pesatnya cafe dan semakin menghilangnya semacam
Warung Ijo. menandakan pergeseran norma hidup yang sangat besar. pada
akhirnya, kita semakin konsumtif, individual, sibuk mengurusi citra
diri, kejiwaan rentan, dan anak muda perkotaan yang tak lagi akrab
dengan satu dan lainnya.
tempat makan menandakan kejiwaan dan sikap sosial diri kita. dan Jogja berkembang semakin terpecah dan kehilangan arah dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar