Senin, 06 Maret 2017

JOGJA: WARUNG IJO










Warung Ijo, seperti itulah namanya. letaknya di dekat kampus UKDW. selalu ramai dan sering penuh sesak. warung yang berdiri sejak 1945, katanya, dan terus bertahan melewati zaman, mengingatkanku dengan berbagai macam warung tradisional di penjuru Jawa Tengah. yang hari ini semakin tergantikan dengan warung padang, tegal, angkringan, atau semacam restoran.

rasa-rasanya sudah empat atau lima kali aku mencoba menikmatinya. terlebih melihat Jogja adalah kota yang miskin kuliner, bumbu, dan rempah, jelas-jelas sangat senang menemukan gorengan yang cukup renyah, soto dengan harga murah, dan suasana yang mirip di masa kecilku. di mana para orang tua dari berbagai macam usia dan pangkat, makan dengan lahap tanpa menghiraukan tempat yang seadanya. suasanya sangat kekeluargaan. hangat. dan tak perlu repot dengan menjaga citra diri. suasana yang dikembalikan oleh Bentara Budaya. suasana yang hampir hilang digantikan oleh angkringan yang semakin menjamur.

angkringan, sebenarnya semakin dikuasai oleh anak-anak muda. nasi yang sedikit dan tak bervariasi, membuat orang-orang tua seperti di warung Ijo jarang terlihat. terlebih tempat yang sangat terbatas dan makanan yang sangat buruk dan hambar. walaupun begitu, ada beberapa titik di mana angkringan dijadikan tujuan makan para orang berusia tua, seperti angkringan di dekat stadiun Kridosono dan yang lainnya. 

bagiku sendiri, angkringan Jogja berkualitas sangat rendah. berbagai macam gorengannya sangat keras dan miskin bumbu. seolah dikasih pengawet dan semacamnya. dan nasi bungkusannya hanya sekedar tumis tempe dan sambal seadanya. dalam hal kuliner saja, Jogja sangat menyebalkan. Gudeg pun terasa hambar dan hanya terasa manis kecap. berbeda dengan Semarang sekitarnya yang angkringan, nasi tegal, warung biasa dan lainnya sangat kuat akan bumbu, rasa pedas, dan kerenyahannya. Jogja dalam hal kuliner, termasuk sangat miskin dan menandakan kurangnya kreativitas. bahkan mangutnya pun nyaris tak terasa dan hanya sekedar ikan lele yang tak begitu menggairahkan dibandingkan mangut pesisir yang pedas dan terbuat dari ikan pari.

warung tegal pun susah dicari. begitu juga warung semacam Warung Ijo. angkringan lebih banyak menjamur beserta penyetan yang menggurita. jika hidup di Jogja sangatlah pas-pasan, pilihan makanan yang ada sangat kekurangan gizi dan meresahkan. aku harus mencari tempat-tempat khusus untuk mencari warung yang menjual berbagai macam jenis sayuran dan cukup banyak pilihan menu. 

setiap hari makan nasi angkringan, mie ayam atau bakso, nasi goreng, bakmie, dan masakan Padang, jelas-jelas membosankan. masakan Jepang, Korea, Eropa, dan lainnya, bukanlah jenis masakan yang bisa dinikmati setiap hari atau menu yang pas. dan bagiku sendiri sangat tak cocok. lagian, aku juga tak banyak uang akhir-akhir ini. yah, setidaknya, Warung Ijo-lah, tempat yang seharusnya semakin banyak dikembangkan, dilindungi, dan dilestarikan bukanya angkringan yang miskin bumbu dan dimasak dengan kondisi sangat buruk. 

saat melihat Warung Ijo, dengan para orang tua yang usianya ada di atas 80 an, hingga kadang mendekati 100 tahun. benar-benar terasa menenangkan. terkadang aku melihat beberapa anak muda seusiaku. dari perempuan hingga laki-laki. tapi jumlahnya tak seberapa. yah, bisa dibilang Warung Ijo adalah tempat para orang tua berkumpul dan juga mungkin bernostalgia. 

soto seharga lima ribu rupiah dan gorengan renyah yang dijual lima ratusan, sudah cukup membuat perut kenyang. air putih gratis tentunya. dibandingkan makan di angkringan sebenarnya lebih memuaskan di Warung Ijo.
suasananya begitu hangat dan bersahabat.

Jogja semakin tenggelam oleh beragam cafe dan burjo. yang suasananya terkesan mirip di berbagai macam galeri seni. ada semacam kekakuan dan keasingan di dalamnya. itulah kenapa, aku tak terlalu betah di cafe dan sejenisnya. ada jarak yang terlalu lebar di tempat-tempat semacam itu. yang mencerminkan kondisi kejiwaan kita sendiri. 

dan jika berbicara mengenai Jogja, tumbuh pesatnya cafe dan semakin menghilangnya semacam Warung Ijo. menandakan pergeseran norma hidup yang sangat besar. pada akhirnya, kita semakin konsumtif, individual, sibuk mengurusi citra diri, kejiwaan rentan, dan anak muda perkotaan yang tak lagi akrab dengan satu dan lainnya. 

tempat makan menandakan kejiwaan dan sikap sosial diri kita. dan Jogja berkembang semakin terpecah dan kehilangan arah dirinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar