Senin, 06 Maret 2017

SURABAYA: TAMAN ASPARI









aku sampai di taman ini. Beberapa sampah terlihat di beberapa tempat. Tergeletak sempurna di batu paving sekitar taman. Masa depan yang jelas bagi Surabaya nanti. Sangat jelas bagiku. Di sekitar taman, orang-orang terlihat menikmati makanan mereka yang berupa nasi goreng. Kota ini adalah kota dengan pintu tertutup bagi perut. Betapa susahnya mencari makan di kota ini. Yang ada bakso-bakso yang buruk. Atau makanan penyet yang sama buruknya. Dua-duanya terpaksa aku makan karena aku sudah lelah mencari dan tak kunjung menemukan. Era tata tertib dan kebersihan Risma, membuat pengembara semacam aku jadi kesusahan hanya untuk sekedar mencari makan. Angkringan pun tak seberapa. Aku belum menemukan warung Padang. Dan ketika pagi, nasi-nasi bungkusan dijual di jalan-jalan dengan cara seadanya. 

Kota Surabaya hari ini adalah musuh bagi perut yang tiba-tiba kelaparan. Benar-benar sangat tak menyenangkan.

Di taman ini cukup banyak orang dalam artian biasa. Mengobrol. Mengambil foto. Merokok. Bermain games. Dan sepasukan polisi muda yang entah karena alasan apa, berfoto ria di sekitar patung yang menjulang tinggi atau berlatarkan gedung Grahadi yang kokoh dan indah. Aku pun mulai mengambil buku. Membacanya. Dan menikmati malam-malam di kota ini yang tak terlalu bising. 

Taman kecil ini bisa dibilang indah. Begitu juga tata kota Surabaya hari ini. Seorang pemimpin yang pernah berada di dinas pertamanan memang layak duduk mengatur kota ini ditambah ketegasannya. Dan yang paling aku suka, hampir di banyak tempat aku melihat banyak ruang publik untuk olah raga. Lapangan hockey. Lapangan tenis dan badminton. Dan yang paling jelas lapangan basket. Di tempat ini juga disediakan lapangan kecil yang menjadi hal yang biasa di Amerika. Orang-orang bisa bermain futsal atau olah raga lainnya. Corak kota yang bagiku menarik dan bagus. 

Namun, jika menyangkut kegairahan intelektual, aku nyaris tak melihat pembaca buku di beberapa ruang publik yang ada. Kecuali jelas di perpustakaan. Dan setelah melihat isi perpustakaan dan toko bukunya, aku sudah mendapat sedikit banyak kesimpulan, Surabaya mirip kota lainnya menyangkut otak dan perkembangan ilmu pengetahuan mutakhir.

Waktu bergerak dengan cepat. Aku memutuskan pergi dari sini. Memesan Go-Jek. Membeli dua bungkus kerupuk. Dan melaju menuju jalan Kapuas atau Diponegoro.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar