Selasa, 07 Maret 2017

MALANG: PERPUSTAKAAN UMUM KOTA








dalam sekilas saja, perpustakaan ini lebih mirip perpustakaan daerah pada umumnya. dan tak begitu nyaman digunakan untuk membaca kecuali di beberapa bagiannya. isinya murip dengan Grahatama Pustaka Jogja. dan sialnya, aku jadi teringat Kunci. lembaga kebudayaan yang memiliki perpus bagus, dengar-dengar, yang malah tak pernah aku lihat. benar-benar manusia konyol.

aku mengambil beberapa buku dari rak; Orang Indonesia dan Orang Prancis yang disusun oleh Bernard Dorleans. Dua majalah National Geographic Traveler. Eksotisme Jawa karangan John Joseph Stockdale. Imagined Communities milik Benedict Anderson. dan The World Is Flat kepunyaan Thomas L. Friedman. sedangkan buku lainnya, mirip beberapa perpustakaan umum yang pernah aku masuki. banyak buku Komunitas Bambu di bagian sejarahnya. hal semacam itu wajar. tapi, mengingat ini perpustakaan kota, itu yang cukup mencengangkan.jika perpus ini ada di Semarang, pastinya akan jadi perpustakaan daerah. perpustakaan kota yang cukup besar. Surabaya saja memiliki perpus yang sangat kecil. dan entah mengapa, wajah-wajah yang ada di tempat kini membuatku agak malas memandang ke segala arah. sedikit wajah-wajah cantik dan tampan. dan cara berpajaiannya pun masih terkesan tradisional, atau lebih tepatnya desa/kampung. sedikit yang terlihat modern atau modis. hanya satu dua saja yang terlihat enak untuk dipandang. 

hal yang paling membuatku sebal adalah penjaga loker. sial itu orang, luar biasa galak. mengingatkanku saat di DISPUSIPDA Bandung. benar-benar menjengkelkan dan tak nyaman. totebagku tidak dibolehkan masuk. aku ingin benar-benar melempar itu orang ke jalan raya yang ada di depan dan menendangnya sejauh dan sebanyak mungkin yang aku bisa. masak, tempat laptop yang aku bawa pun tak diperbolehkan. aku pun geram. sangat geram. lalu berjalan menaiki tangga sambil mengomel tak karuan agar didengar orang-orang yang sedang jalan. penjaga loker sialan! para perempuan pun dia damprat tanpa ampun. benar-benar penjaga loker yang kejam. 

tempat ini cukup ramai. tapi sedikit yang terlihat membaca buku.

'Colombus melaporkan kepada raja dan ratunya bahwa dunia itu bulat, karenya ia dicatat dalam sejarah sebagai orang pertama yang menemukan hal ini. sementara itu, ketika pulang saya hanya menyampaikan penemuan itu kepada istri sambil berbisik: " sayang, saya kira dunia ini datar."' dan aku sendiri ingin mengatakan, sayangnya, negara ini membosankan. dan oh ya, dunia ini tentunya sangat membosankan juga! tak peduli ia datar. bulat. lonjong. segitiga atau bahkan persegi. aku sudah mulai jenuh ketika sampai di Malang. aku memutuskan untul mengobrak-abrik isi perpus yang penampilannya sangat menyedihkan. 

aku menemukan buku Out of Place dari Edward Said dan ingin sekali menbawa pulang. aku pun mendapati buku Mao karya Jung Chang yang pernah aku miliki yang sayangnya dijual oleh adikku dengan harga kiloaan. lebih dari 50-100 buku langkaku dijual olehnya dengan harga kiloan karena dia membutuhkan uang untuk membayar hutang dan bersenang-senang dengan temannya. sempat aku luar biasa geram. sangat geram akan hal itu. tapi kemarahanku hanya sebentat. aku hanya teringat akan masa-masa, saat aku membutuhkan bahan untuk menulis, buku yang pernah aku miliki sudah tak ada. menjengkelkan. 

jika disuruh memilih, aku lebih suka berada di C20 dari pada di tempat ini. buku-bukunya dibungkus plastik yang tak rapat dan terkesan sangat buruk lagi menyedihkan. penampilan buku dan raknya yang tak menarik. dan tak ada sesosok cantik yang bisa aku pandangi. benar-benar ingin keluar dan secepat mungkin meninggalkannya. aku hanya tertahan oleh pengisian baterai yang rasa-rasanya bagai tak selesai. 

aku mencari tempat di pinggir jendela kaca. ada dua perempuan dengan penampilan yang cukup modis yang bisa sedikit menghibur kebosananku. sambil membaca buku Orang Indonesia dan Orang Prancis, aku mulai membaca dan mengamati. perlahan, matahari pun mulai tenggelam dan dunia di luar sana, seolah kedap suara. 

'penelitian Shtulman menandakan bahwa saat kita menjadi melek-sains, kita meredam keyakinan naif kita tetapi tidak pernah benar-benar menghapusnya,' tulis Joel Achenbach dalam tulisannya yang berjudul Era Ketidakpercayaan. Lalu apa yang terjadi dengan Indonesia jika isi perpusnya saja berantakan dan membaca buku termasuk dalam kategori langka? Yang terjadi adalah mempertahankan kelompok, kedekatan dengan teman, atau lebih tepatnya kesukuaan. Itulah yang sering aku lihat dan alami. Melihat kebenaran itu bisa menuju ke jalan depresi bahkan gangguan jiwa. Ditolak lingkungan sosial dan hidup dalam kemiskinan kondisi di mana kita akan sangat dimusuhi. 'kita harus lebih pandai dalam mencari jawaban, karena jelas pertanyaan yang muncul tidak akan semakin sederhana,' kata Joel Achenbach lagi. Dan otakku ini, terlalu banyak pertanyaan yang sangat tak sederhana, yang menggelisahkan orang-orang sezamanku. Tapi apakah aku harus berhenti dan menerima kalah dalam arus komunitas yang menyingkirkan kebenaran?

'justru karena mereka netral, sains menjadi begitu ampuh. Karena sains menyatakan kebenaran sesungguhnya, bukan kebenaran yang kita inginkan. Ilmuwan memang bisa dogmatis seperti orang lain -tetapi mereka mau melepas dogma jika ada penelitian baru. Dalam sains, kita tidak berdosa jika berubah pikiran saat dituntut oleh bukti. Bagi sebagian orang, suku lebih penting dari pada krbrnatan; bagi ilmuwan ternaik, kebenaran lebih penting dari pada suku, " kata Joel sekali lagi. Dan berada di manakah aku berada? Jelas, aku akan menghapus rasa suku jauh-jauh dari diriku. Walaupun begitu, aku bukanlah seorang ilmuwan yang baik. Dan aku terkadang masih sangat kuat dikendalikan oleh emosi. Bagiku sendiri, aku terlalu banyak. Dan aku berpesta terhadap sisi majemuk dalam diriku ini. 

Suara Adzan Maghrib terdengar di kejauhan. Suasana perpus pun semakin sepi. Aku rasa, aku harus meninggalkan tempat ini. Dan menuju tempat yang bisa aku jadikan tolok ukur lainnya; Gramedia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar