dalam sekilas saja,
perpustakaan ini lebih mirip perpustakaan daerah pada umumnya. dan tak
begitu nyaman digunakan untuk membaca kecuali di beberapa bagiannya.
isinya murip dengan Grahatama Pustaka Jogja. dan sialnya, aku jadi
teringat Kunci. lembaga kebudayaan yang memiliki perpus bagus,
dengar-dengar, yang malah tak pernah aku lihat. benar-benar manusia
konyol.
aku mengambil beberapa buku dari rak; Orang Indonesia dan Orang Prancis yang disusun oleh Bernard Dorleans. Dua majalah National Geographic Traveler. Eksotisme Jawa karangan John Joseph Stockdale. Imagined Communities milik Benedict Anderson. dan The World Is Flat kepunyaan
Thomas L. Friedman. sedangkan buku lainnya, mirip beberapa perpustakaan
umum yang pernah aku masuki. banyak buku Komunitas Bambu di bagian
sejarahnya. hal semacam itu wajar. tapi, mengingat ini perpustakaan
kota, itu yang cukup mencengangkan.jika perpus ini ada di Semarang,
pastinya akan jadi perpustakaan daerah. perpustakaan kota yang cukup
besar. Surabaya saja memiliki perpus yang sangat kecil. dan entah
mengapa, wajah-wajah yang ada di tempat kini membuatku agak malas
memandang ke segala arah. sedikit wajah-wajah cantik dan tampan. dan
cara berpajaiannya pun masih terkesan tradisional, atau lebih tepatnya
desa/kampung. sedikit yang terlihat modern atau modis. hanya satu dua
saja yang terlihat enak untuk dipandang.
hal yang paling
membuatku sebal adalah penjaga loker. sial itu orang, luar biasa galak.
mengingatkanku saat di DISPUSIPDA Bandung. benar-benar menjengkelkan dan
tak nyaman. totebagku tidak dibolehkan masuk. aku ingin benar-benar
melempar itu orang ke jalan raya yang ada di depan dan menendangnya
sejauh dan sebanyak mungkin yang aku bisa. masak, tempat laptop yang aku
bawa pun tak diperbolehkan. aku pun geram. sangat geram. lalu berjalan
menaiki tangga sambil mengomel tak karuan agar didengar orang-orang yang
sedang jalan. penjaga loker sialan! para perempuan pun dia damprat
tanpa ampun. benar-benar penjaga loker yang kejam.
tempat ini cukup ramai. tapi sedikit yang terlihat membaca buku.
'Colombus melaporkan
kepada raja dan ratunya bahwa dunia itu bulat, karenya ia dicatat dalam
sejarah sebagai orang pertama yang menemukan hal ini. sementara itu,
ketika pulang saya hanya menyampaikan penemuan itu kepada istri sambil
berbisik: " sayang, saya kira dunia ini datar."' dan aku sendiri ingin
mengatakan, sayangnya, negara ini membosankan. dan oh ya, dunia ini
tentunya sangat membosankan juga! tak peduli ia datar. bulat. lonjong.
segitiga atau bahkan persegi. aku sudah mulai jenuh ketika sampai di
Malang. aku memutuskan untul mengobrak-abrik isi perpus yang
penampilannya sangat menyedihkan.
aku menemukan buku Out of Place dari Edward Said dan ingin sekali menbawa pulang. aku pun mendapati buku Mao karya
Jung Chang yang pernah aku miliki yang sayangnya dijual oleh adikku
dengan harga kiloaan. lebih dari 50-100 buku langkaku dijual olehnya
dengan harga kiloan karena dia membutuhkan uang untuk membayar hutang
dan bersenang-senang dengan temannya. sempat aku luar biasa geram.
sangat geram akan hal itu. tapi kemarahanku hanya sebentat. aku hanya
teringat akan masa-masa, saat aku membutuhkan bahan untuk menulis, buku
yang pernah aku miliki sudah tak ada. menjengkelkan.
jika disuruh memilih,
aku lebih suka berada di C20 dari pada di tempat ini. buku-bukunya
dibungkus plastik yang tak rapat dan terkesan sangat buruk lagi
menyedihkan. penampilan buku dan raknya yang tak menarik. dan tak ada
sesosok cantik yang bisa aku pandangi. benar-benar ingin keluar dan
secepat mungkin meninggalkannya. aku hanya tertahan oleh pengisian
baterai yang rasa-rasanya bagai tak selesai.
aku mencari tempat di
pinggir jendela kaca. ada dua perempuan dengan penampilan yang cukup
modis yang bisa sedikit menghibur kebosananku. sambil membaca buku Orang Indonesia dan Orang Prancis, aku mulai membaca dan mengamati. perlahan, matahari pun mulai tenggelam dan dunia di luar sana, seolah kedap suara.
'penelitian Shtulman
menandakan bahwa saat kita menjadi melek-sains, kita meredam keyakinan
naif kita tetapi tidak pernah benar-benar menghapusnya,' tulis Joel
Achenbach dalam tulisannya yang berjudul Era Ketidakpercayaan. Lalu
apa yang terjadi dengan Indonesia jika isi perpusnya saja berantakan
dan membaca buku termasuk dalam kategori langka? Yang terjadi adalah
mempertahankan kelompok, kedekatan dengan teman, atau lebih tepatnya
kesukuaan. Itulah yang sering aku lihat dan alami. Melihat kebenaran itu
bisa menuju ke jalan depresi bahkan gangguan jiwa. Ditolak lingkungan
sosial dan hidup dalam kemiskinan kondisi di mana kita akan sangat
dimusuhi. 'kita harus lebih pandai dalam mencari jawaban, karena jelas
pertanyaan yang muncul tidak akan semakin sederhana,' kata Joel
Achenbach lagi. Dan otakku ini, terlalu banyak pertanyaan yang sangat
tak sederhana, yang menggelisahkan orang-orang sezamanku. Tapi apakah
aku harus berhenti dan menerima kalah dalam arus komunitas yang
menyingkirkan kebenaran?
'justru karena mereka
netral, sains menjadi begitu ampuh. Karena sains menyatakan kebenaran
sesungguhnya, bukan kebenaran yang kita inginkan. Ilmuwan memang bisa
dogmatis seperti orang lain -tetapi mereka mau melepas dogma jika ada
penelitian baru. Dalam sains, kita tidak berdosa jika berubah pikiran
saat dituntut oleh bukti. Bagi sebagian orang, suku lebih penting dari
pada krbrnatan; bagi ilmuwan ternaik, kebenaran lebih penting dari pada
suku, " kata Joel sekali lagi. Dan berada di manakah aku berada? Jelas,
aku akan menghapus rasa suku jauh-jauh dari diriku. Walaupun begitu, aku
bukanlah seorang ilmuwan yang baik. Dan aku terkadang masih sangat kuat
dikendalikan oleh emosi. Bagiku sendiri, aku terlalu banyak. Dan aku
berpesta terhadap sisi majemuk dalam diriku ini.
Suara Adzan Maghrib
terdengar di kejauhan. Suasana perpus pun semakin sepi. Aku rasa, aku
harus meninggalkan tempat ini. Dan menuju tempat yang bisa aku jadikan
tolok ukur lainnya; Gramedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar