Senin, 06 Maret 2017

BANDUNG: TAMAN BALAI KOTA







Di sekitar taman ini, terlihat ada yang baru. Dari depan terlihat tulisan Bandung Planning Gallery. Dan tulisan agak besar, SEJARAH BANDUNG DI ERA WIRANATA KUSUMAH. Beserta semacam diorama dan foto-foto kaca seluruh walikota Bandung semenjak era kolonial. Taman Sejarah Bandung, yang diresmikan sejak 4 Februari yang lalu, yang disambut antusias warga, di malam hari tampak sekarat.

Aku membaca Merebut Ruang Kota dari Purnawan Basundoro. Setidaknya, sedikit memberi informasi mengenai sejarah singkat kota Jogja. Mengenai rakyat miskin yang jadi fokus pembahasan utama, cukup menarik. Tapi aku tak akan menulis hal yang terlalu akademis semacam itu. Biarlah dia dan orang lain yang menuliskannya.

Tadi malam, aku membaca hingga larut malam sebelum melangkah ke Telkom untuk merebahkan badan. Sekitar jam 10-12, taman mulai sepi. Dua orang Tionghoa cantik sedang bermain-main dengan skateboard ditemani mamanya untuk sekedar melihat. Beberapa pasangan muda-mudi terlihat memadu kasih. Dan sekumpulan laki-laki bercanda tak jauh dari tempatku berada. Sekumpulan yang lain, muda-mudi, kebanyakan berjilbab, sibuk dengan urusan mereka lalu terlihat berfoto bersama. Aku sedikit merenung. Betapa bangganya warga Bandung dan Ridwan Kamil akan sejarah Bandung itu sendiri. Yang bangunan, wilayah, dan beberapa hal lainnya, pihak kolonial lah yang telah membangun dan mengawalinya. Bandung tak akan menjadi besar tanpa Daendels dan Belanda. Wiranatakusumah hanya sekedar menjalankan perintah Daendels. Dan oh ya, kedudukannya tidak di taman yang kini menjadi Taman Sejarah atau lingkungan Balai Kota!

Tempat ini, khusus untuk orang-orang Belanda dan segala gedung pemerintahan mereka. Tapi setidaknya, pemerintah kota Bandung mulai sadar diri akan sejarah kelahiran kotanya. Walau dengan agak konyol. 

Aku melangkah pergi setelah merasa cukup membaca. Melihat-lihat sekitar yang berisi sampah-sampah dan sampah-sampah. Tempat baru pun langsung retak dan tampak menjijikkan. Sampah, adalah kekonyolan warga Bandung yang terdidik. Di banyak tempat sudah disediakan tong sampah. Untuk apa kegunaan tong sampah itu? Sampah dan kemacetan, adalah hal yang akan jadi beban besar kota ini beserta ledakan penduduknya.

Pagi ini aku melangkahkan kakiku menuju IFI. Melewati Taman Balai Kota atau Badak yang terlihat damai dan sejuk. Bisa dibilang salah satu taman indah yang dibanggakan Bandung tapi hasil dari arsitek Belanda masa lalu. Setidaknya Bandung bisa menjaganya dan membuatnya lebih nyaman. Tempat ini, jadi tempat publik yang paling sukses banyak bagiku di era Bandung modern abad 21. Aliran air dari sungai kecil yang jernih dan kebersihan karena tukang sapu yang digaji. Tak apalah. Kesadaran publik soal itu masih cukup lama memang. Masalahnya, saat melewati Taman Sejarah, hari Senin adalah hari penutupan taman untuk proses bersih-bersih. Kebersihan taman, jalan, dan semacamnya bukan dari kesadaran langsung warga tapi dari berbagai petugas kebersihan yang ditugaskan memang untuk itu. Sayangnya, aku tak pernah menemukan papan yang berisi denda serius mengenai membuang sampah sembarangan. Hukuman denda saat terlihat membuang sampah di tempat. Harus ada efek jera semacam itu. Kalau tidak, Ridwan Kamil setelah lengser akan membuat Bandung kembali menjadi kota yang lebih sialan lagi. Dan kolam anak-anak yang sering digunakan oleh banyak anak kecil, akan lebih buruk dari sekarang. Musuh tersebar akan selalu terletak pada masyarakat yang tidak sadar. Berganti walikota dan gubernur, akan percuma jika kesadaran tidak dibina sejak kecil. Setidaknya, Bandung dengan Balai Kotanya tak terlalu buruk dan masih cukup menyenangkan, teduh, segar, dan pohon-pohon yang masih menjulang tinggi. 

Aku melangkahkan kakiku menuju jalan Purnawarman. Dan meninggalkan tempat yang, bagiku sendiri, akan runtuh, tapi entah kapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar