Di sekitar taman ini,
terlihat ada yang baru. Dari depan terlihat tulisan Bandung Planning
Gallery. Dan tulisan agak besar, SEJARAH BANDUNG DI ERA WIRANATA
KUSUMAH. Beserta semacam diorama dan foto-foto kaca seluruh walikota
Bandung semenjak era kolonial. Taman Sejarah Bandung, yang diresmikan
sejak 4 Februari yang lalu, yang disambut antusias warga, di malam hari
tampak sekarat.
Aku membaca Merebut Ruang Kota dari
Purnawan Basundoro. Setidaknya, sedikit memberi informasi mengenai
sejarah singkat kota Jogja. Mengenai rakyat miskin yang jadi fokus
pembahasan utama, cukup menarik. Tapi aku tak akan menulis hal yang
terlalu akademis semacam itu. Biarlah dia dan orang lain yang
menuliskannya.
Tadi malam, aku membaca
hingga larut malam sebelum melangkah ke Telkom untuk merebahkan badan.
Sekitar jam 10-12, taman mulai sepi. Dua orang Tionghoa cantik sedang
bermain-main dengan skateboard ditemani mamanya untuk sekedar melihat.
Beberapa pasangan muda-mudi terlihat memadu kasih. Dan sekumpulan
laki-laki bercanda tak jauh dari tempatku berada. Sekumpulan yang lain,
muda-mudi, kebanyakan berjilbab, sibuk dengan urusan mereka lalu
terlihat berfoto bersama. Aku sedikit merenung. Betapa bangganya warga
Bandung dan Ridwan Kamil akan sejarah Bandung itu sendiri. Yang
bangunan, wilayah, dan beberapa hal lainnya, pihak kolonial lah yang
telah membangun dan mengawalinya. Bandung tak akan menjadi besar tanpa
Daendels dan Belanda. Wiranatakusumah hanya sekedar menjalankan perintah
Daendels. Dan oh ya, kedudukannya tidak di taman yang kini menjadi
Taman Sejarah atau lingkungan Balai Kota!
Tempat ini, khusus untuk
orang-orang Belanda dan segala gedung pemerintahan mereka. Tapi
setidaknya, pemerintah kota Bandung mulai sadar diri akan sejarah
kelahiran kotanya. Walau dengan agak konyol.
Aku melangkah pergi
setelah merasa cukup membaca. Melihat-lihat sekitar yang berisi
sampah-sampah dan sampah-sampah. Tempat baru pun langsung retak dan
tampak menjijikkan. Sampah, adalah kekonyolan warga Bandung yang
terdidik. Di banyak tempat sudah disediakan tong sampah. Untuk apa
kegunaan tong sampah itu? Sampah dan kemacetan, adalah hal yang akan
jadi beban besar kota ini beserta ledakan penduduknya.
Pagi ini aku
melangkahkan kakiku menuju IFI. Melewati Taman Balai Kota atau Badak
yang terlihat damai dan sejuk. Bisa dibilang salah satu taman indah yang
dibanggakan Bandung tapi hasil dari arsitek Belanda masa lalu.
Setidaknya Bandung bisa menjaganya dan membuatnya lebih nyaman. Tempat
ini, jadi tempat publik yang paling sukses banyak bagiku di era Bandung
modern abad 21. Aliran air dari sungai kecil yang jernih dan kebersihan
karena tukang sapu yang digaji. Tak apalah. Kesadaran publik soal itu
masih cukup lama memang. Masalahnya, saat melewati Taman Sejarah, hari
Senin adalah hari penutupan taman untuk proses bersih-bersih. Kebersihan
taman, jalan, dan semacamnya bukan dari kesadaran langsung warga tapi
dari berbagai petugas kebersihan yang ditugaskan memang untuk itu.
Sayangnya, aku tak pernah menemukan papan yang berisi denda serius
mengenai membuang sampah sembarangan. Hukuman denda saat terlihat
membuang sampah di tempat. Harus ada efek jera semacam itu. Kalau tidak,
Ridwan Kamil setelah lengser akan membuat Bandung kembali menjadi kota
yang lebih sialan lagi. Dan kolam anak-anak yang sering digunakan oleh
banyak anak kecil, akan lebih buruk dari sekarang. Musuh tersebar akan
selalu terletak pada masyarakat yang tidak sadar. Berganti walikota dan
gubernur, akan percuma jika kesadaran tidak dibina sejak kecil.
Setidaknya, Bandung dengan Balai Kotanya tak terlalu buruk dan masih
cukup menyenangkan, teduh, segar, dan pohon-pohon yang masih menjulang
tinggi.
Aku melangkahkan kakiku menuju jalan Purnawarman. Dan meninggalkan tempat yang, bagiku sendiri, akan runtuh, tapi entah kapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar