Selasa, 07 Maret 2017

MALANG: ALUN-ALUN MERDEKA









Seandainya pada awal abad dua puluh aku berada di sini. pastilah aku berasal dari golongan pribumi. Yang dianggap sebagai kelas rendah di mata bangsa Eropa. Seandainya aku hidup di masa Jepang. Mungkin aku akan disiksa di lapangan terbuka ini. Ada yang tak berubah dari penjelasan sejarah masa lalu bahwa alun-alun ini dulunya kawasan orang-orang pribumi. Bagian Eropa, yang sangat elit dan tertutup berada di alun-alun Bunder beserta balai kota dan lain sebagainya. 

Lebih tepatnya, kawasan yang ditinggalkan karena bangsa Eropa, terlebih Belanda, yang lebih muda menginginkan kawasan yang murni Eropa dan tidak dikotori oleh percampuran silang atau bebas dari orang-orang asli yang menurut mereka harus selalu ada di bawah. Lalu dibangunlah apa yang kini disebut alun-alun Bundar. Karena bentuknya Bundar, orang-orang menyebutnya seperti itu.

Bangun dari tidur sejenak di WiFi Id Corner. Aku sebenarnya malas untuk beranjak. Jarak antara alun-alun dan Wifi Id hanya sekitar 300 meter. Hanya beberapa menit jalan kaki. Setelah mengemasi barang. Selesai mengunduh aplikasi permainan. Lalu mandi. Aku pun bergegas ke alun-alun. Melihat ada apa di sana. 

Aku berjalan melewati Gereja Hati Yesus yang terlihat lebih besar dari pada gereja Imanuel. Terus berjalan melewati Gramedia. Sarinah. Menyeberang. Dan menemukan sebuah masjid kehijauan bernama masjid Agung Jami' Malang. Masjid yang pada awalnya bukan bagian dari alun-alun ini. Ada banyak pesepeda di depan masjid. Hari Minggu, sepeda baru terlihat. Di hari biasa, sepeda dikurung bahkan dirantai. Sungguh mengerikan nasib sepeda di negara ini.

Alun-alun begitu ramai dengan anak kecil yang mengayuh BMXnya. Skateboard ada di kaki. Para manula yang tengah melakukan senam kecil. Anak-anak yang berkeliaran sendiri, dengan teman, atau keluarganya. Para orang tua yang melepas lelah sehabis bersepeda. Mereka yang sedang berolahraga atau jogging. Seorang tua yang sedang membaca koran. Para penjaja makanan. Petugas perempuan yang mengingatkan salah seorang perokok untuk tidak merokok di tempat ini dan disuruh pindah ke area khusus. Mereka juga memberi arahan kepada pengguna sepeda baru untuk memarkirkan sepedanya di tempat yang ditunjuk. Ada anak-anak balita yang digendong orang tuanya. Sedang bermain ayunan. Para remaja yang jumlahnya membludak. Sejauh mata memandang, kebanyakan yang terlihat adalah para pengguna jilbab. Dan burung-burung dara yang terbang sesuka hati mereka tak bisa dibunuh atau ditangkap. Aku masih merasa ngantuk.

Pada akhirnya aku mencari sebuah kursi dan mulai membaca kembali Merebut Ruang Kota. Tak ada pembaca buku di sini. Dan tentunya, tak ada wajah-wajah yang enak dipandang seperti yang diutarakan oleh John C. Dyke, 'semua orang pribumi menampilkan pemandangan indah'. Hal semacam itu, tak banyak ada di sekitar kawasan ini. 

Hal yang paling melegakan di tempat ini adalah keberadaan toilet. Pohon-pohon-pohin beringin yang sangat besar dan lebih mudah dikenali dari para yang lainnya. Di depan tempatku duduk sekarang, seorang ayah membukakan makanan untuk kedepannya putrinya. Makanan itu berlogo KFC. Makanan orang Malang. Makan kebanyakan orang Indonesia perkotaan. Makanan yang menjadi ciri khas pola berpikir kita. Makanan kesukaan adalah kebiasaan hidup kita sehari-hari. 

Angin bertiup. Udara menjadi cukup segar. Aku ingin mencari tempat makan yang biasa. Tak perlu bergaya modern dan terkesan Eropa dan keren. Aku tak butuh hal semacam itu. Kemudian, aku akan berjalan menuju alun-alun Bundar. Setelah itu pergi dengan segera dari tempat ini.

Kota yang membuatku bosan dalam satu hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar