Seandainya pada awal
abad dua puluh aku berada di sini. pastilah aku berasal dari golongan
pribumi. Yang dianggap sebagai kelas rendah di mata bangsa Eropa.
Seandainya aku hidup di masa Jepang. Mungkin aku akan disiksa di
lapangan terbuka ini. Ada yang tak berubah dari penjelasan sejarah masa
lalu bahwa alun-alun ini dulunya kawasan orang-orang pribumi. Bagian
Eropa, yang sangat elit dan tertutup berada di alun-alun Bunder beserta
balai kota dan lain sebagainya.
Lebih tepatnya, kawasan
yang ditinggalkan karena bangsa Eropa, terlebih Belanda, yang lebih muda
menginginkan kawasan yang murni Eropa dan tidak dikotori oleh
percampuran silang atau bebas dari orang-orang asli yang menurut mereka
harus selalu ada di bawah. Lalu dibangunlah apa yang kini disebut
alun-alun Bundar. Karena bentuknya Bundar, orang-orang menyebutnya
seperti itu.
Bangun dari tidur
sejenak di WiFi Id Corner. Aku sebenarnya malas untuk beranjak. Jarak
antara alun-alun dan Wifi Id hanya sekitar 300 meter. Hanya beberapa
menit jalan kaki. Setelah mengemasi barang. Selesai mengunduh aplikasi
permainan. Lalu mandi. Aku pun bergegas ke alun-alun. Melihat ada apa di
sana.
Aku berjalan melewati
Gereja Hati Yesus yang terlihat lebih besar dari pada gereja Imanuel.
Terus berjalan melewati Gramedia. Sarinah. Menyeberang. Dan menemukan
sebuah masjid kehijauan bernama masjid Agung Jami' Malang. Masjid yang
pada awalnya bukan bagian dari alun-alun ini. Ada banyak pesepeda di
depan masjid. Hari Minggu, sepeda baru terlihat. Di hari biasa, sepeda
dikurung bahkan dirantai. Sungguh mengerikan nasib sepeda di negara ini.
Alun-alun begitu ramai
dengan anak kecil yang mengayuh BMXnya. Skateboard ada di kaki. Para
manula yang tengah melakukan senam kecil. Anak-anak yang berkeliaran
sendiri, dengan teman, atau keluarganya. Para orang tua yang melepas
lelah sehabis bersepeda. Mereka yang sedang berolahraga atau jogging.
Seorang tua yang sedang membaca koran. Para penjaja makanan. Petugas
perempuan yang mengingatkan salah seorang perokok untuk tidak merokok di
tempat ini dan disuruh pindah ke area khusus. Mereka juga memberi
arahan kepada pengguna sepeda baru untuk memarkirkan sepedanya di tempat
yang ditunjuk. Ada anak-anak balita yang digendong orang tuanya. Sedang
bermain ayunan. Para remaja yang jumlahnya membludak. Sejauh mata
memandang, kebanyakan yang terlihat adalah para pengguna jilbab. Dan
burung-burung dara yang terbang sesuka hati mereka tak bisa dibunuh atau
ditangkap. Aku masih merasa ngantuk.
Pada akhirnya aku mencari sebuah kursi dan mulai membaca kembali Merebut Ruang Kota. Tak
ada pembaca buku di sini. Dan tentunya, tak ada wajah-wajah yang enak
dipandang seperti yang diutarakan oleh John C. Dyke, 'semua orang
pribumi menampilkan pemandangan indah'. Hal semacam itu, tak banyak ada
di sekitar kawasan ini.
Hal yang paling
melegakan di tempat ini adalah keberadaan toilet. Pohon-pohon-pohin
beringin yang sangat besar dan lebih mudah dikenali dari para yang
lainnya. Di depan tempatku duduk sekarang, seorang ayah membukakan
makanan untuk kedepannya putrinya. Makanan itu berlogo KFC. Makanan
orang Malang. Makan kebanyakan orang Indonesia perkotaan. Makanan yang
menjadi ciri khas pola berpikir kita. Makanan kesukaan adalah kebiasaan
hidup kita sehari-hari.
Angin bertiup. Udara
menjadi cukup segar. Aku ingin mencari tempat makan yang biasa. Tak
perlu bergaya modern dan terkesan Eropa dan keren. Aku tak butuh hal
semacam itu. Kemudian, aku akan berjalan menuju alun-alun Bundar.
Setelah itu pergi dengan segera dari tempat ini.
Kota yang membuatku bosan dalam satu hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar