hanya ada dua tiga buku yang menarik minatku: World Artist; 1980-1990 yang diedit oleh Claude Marks. Black Music In America; A History Through Its Prople. dan Tafsir Mimpi karya Sigmund Friend. yang lain adalah buku-buku yang tak aku anggap. benar-benar perpustakaan menyedihkan.
sempat aku tertidur di sofa dengan sebuah buku, World Artist, dan
tiba-tiba seorang laki-laki muda membangunkanku, tak boleh tidur di
perpustakaan. aku meminta maaf dan menjawab tak sengaja. lalu
melanjutkan membaca, agar rasa lelah dan kantuk sedikit lenyap. aku
butuh tempat membaringkan tubuhku. aku membutuhkan tubuh yang segar
untuk menikmati sebuah kota dan memasuki bermacam ruangnya. aku sudah
coba mencari kos dan tempat tinggal, tapi sudah penuh, mahal, terlalu
jauh, atau hanya boleh sebulan. rasa-rasanya sebulan adalah waktu yang
keterlaluan lamanya dan membuatku akan mudah jenuh. uangku juga sudah
menipis. setiap pengembara akan selalu dibatasi oleh biaya, tubuh, dan
emosinya. begitu juga diriku.
perpustakaan yang
mengambil salah satu ruang dari Balai Pemuda ini cukup ramai. dalam
artian biasa saja. orang datang hanya sekedar membuat tugas, melepas
lelah, bermain gadget, membaca koran, atau membaca buku. terlihat
beberapa perempuan dan laki-laki yang membaca buku. tapi mengingat buku
yang ada sangatlah buruk, apa yang memang layak dibaca di tempat ini
dalam jangka waktu yang cukup lama?
untukku sendiri, perpus
ini hanya sekedar pelepas lelah. interior yang tak menarik. isi yang
sangat lebih tak menarik. dan jika menyoal isi rak atau buku-buku, aku
akan jadi komentator dan pengamat yang sangat kejam. aku pun sudah
langsung bosan seandainya tubuhku tak seperti sekarang ini dan baterai
gadgetku penuh karena aku membutuhkannya sebagai alat dokumentasi.
beberapa anak SMA
terlihat di sini. begitu juga tadi anak-anak dan orang tua mereka.
beberapa bapak-bapak. om-om. dan mereka yang berusia kisaran mahasiswa.
dan aku pun menguap. pertanda tubuhku membutuhkan waktu untuk tidur.
waktu tidur yang nyaris tak kumiliki.
pagi tadi aku berjalan
kaki dari jalan Kapuas sampai di jalan Sulawesi atau taman Pahlawan.
memesan Gojek lalu mencari kos di kisaran Jojoran tapi tak menemukannya.
dari pada membuang waktu menunggu ibu kos yang hilang entah kemana, aku
memutuskan untuk pergi ke perpustakaan umum kota. siapa tahu aku bisa
melepas lelah di sana. mandi. lalu bergentayangan mencari Yayasan Jerman
atau Goethe Institut dan Gramedia di Tunjungan Plaza, yang semuanya
masih berdekatan.
sesampainya di sini, aku langsung kecewa. pusat kota memiliki perpustakaan seburuk ini. tidakkah itu menyedihkan?
bahkan dari awal masuk
hingga melihat isi rak, tempat ini sudah langsung aku anggap tak layak
dan sesuai dengan selera dan harapanku. aku memutari tiap isi rak dan
menemukan rak sastra yang isinya konyol. rak filsafat yang nyaris tak
ada buku filsafat yang bisa aku sekedar pegang. rak psikologi yang
mengerikan. dan rak-rak lainnya yang mencerminkan kualitas dari tempat
ini. bahkan penjaganya saja tak tahu apa itu IFI dan Goethe Institut.
ah, sudahlah, aku tak banyak berharap untuk perpus yang satu ini.
fisik kota Jogja yang
sempat aku sanjung berisikan perpustakaan yang buruk rupa. sangat buruk
rupa. sebelum pergi, aku mencoba lagi menelisik rak yang mungkin aku
lewatkan. aku menemukan The Wolf of Street karya Jordan Belfort. Where Keynes Went Wrong dari Hunter Lewis. dan Chain of Blame milik
Paul Muolo dan Mathew Padilla. dan rasa-rasanya seandainya aku
menemukan yang lain, itu pun sangat sedikit. masih tetap sangat sedikit.
buku bagus berbahasa
inggris dan kebanyakan terfokus di ekonomi. kebanyakan itu pun satu dua
buku. dan rasa-rasanya aku tak mau berlama-lama di sini. tapi sial, aku
sedang malas memanggul ranselku yang cukup berat dan akhirnya kelelahan
kembali. aku juga dalam keadaan yang agak bosan sekarang ini.
sepertinya, lebih baik aku membaca bukuku sendiri di suatu tempat di
kota ini dari pada harus berlama-lama di perpus yang harus aku bilang,
sangat menjijikkan. tak seharusnya perpustakaan ini dikhususkan hanya
untuk anak-anak. dan entah kenapa, ketika melihat perpus ini saja aku
malas untuk bergerak ke perpustakaan daerah Jawa Timur.
tak perlu waktu lama, aku pun pergi. melangkahkan kakiku menjauhi ironi kota besar yang terlihat kaya dan nyaman ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar