tempat ini cukup nyaman.
setelah kaki terasa ingin putus karena berjalan kaki berkilo-kilo
mencari tempat tinggal atau kos, dan masih belum mendapatkannya. aku
memutuskan langsung ke Goethe Institut setelah hujan mereda.
sehari semalam aku
berada di hotel dekat alun-alun. jelas suatu pemborosan yang mahal. dan
hari ini pun, sabtu 25 februari, aku tak berhasil mendapatkan tempat
tinggal yang tak terlalu mahal. hampir semua kos yang aku tak sengaja
masuki, bertarif 900 ribu ke atas. sekitar Braga, BIP, Bandung Wetan,
dan sekitarnya, sangat mahal bagiku yang memutuskan untuk bacpacking.
dan akhirnya, di sinilah aku sekarang, di Goethe Institut, setelah
diantar Gojek menebus belukar mobil yang menggurita di jalanan. entah
kenapa, mendadak aku berpikir lagi mengenai kebosanan di suatu kota.
saat memasuki Goethe
Institut, aku langsung merasa nyaman. tempat ini sangat menyenangkan
untuk membaca, merenung, dan sekedar melepas lelah. bisa dibilang,
suasananya mirip hotel, cafe, atau tempat-tempat yang harus layak untuk
didatangi. sangat bersih. tertata. dan toiletnya pun sangat
menyenangkan. sangat terawat. secara psikologis, tempat yang lumayan aku
sukai.
ada beberapa orang
ketika aku tiba di sini. seorang laki-laki dan empat orang perempuan.
semuanya pengunjung atau lebih tepatnya, mungkin sedang belajar di sini.
mengingat mereka menjadi anggota perpustakaan atau bibliotek, dan
meminjam buku serta film. tak perlu waktu lama, aku pun menjelajah.
rak-rak yang tertata
seperti di IFI Jogja. aku menemukan beberapa buku menarik dari Goethe
dan lainnya. terutama sebuah buku lebar dan berat berjudul, The Diary of Sigmund Freud: 1929-1939 A Record Of The Times Of The Final Decade.
rasanya ingin sekali aku membawa pulang buku itu. membacanya lahap di
perjalanan. atau sebagai obat penahan demam bagi tubuhku yang
akhir-akhir ini sangat kurang beristirahat.
ketika sedang sedikit
mengacak-acak isi perpustakaan yang sebenarnya tak seberapa. mataku
melihat tiga buah buku berbahasa Jerman dari penulis Indonesia. ada Saman
karya Ayu Utami. lalu milik Andrea Hirata. dan sebuah buku khas Bali
dari Oka Rusmini. tapi aku lebih tertarik dengan diari Sigmund Freud
yang dicetak oleh Museum Freud di London. dalam sekali waktu, aku merasa
betah di tempat ini.
ruang tengah Goethe
Institut Bandung cukup nyaman dan segar. walau ada sebuah bangunan yang
menjulang keterlaluan tinggi, mengganggu mata dan sangat menyebalkan.
meja-meja di tengah rerumputan. sebuah kantin. dan warna hijau muda dari
papan-papan petunjuk nama dan tempat yang terlihat teduh. membuat aku
tak ingin beranjak pergi seandainya jam buka sudah berakhir. hari sabtu,
jam 6 malam, perpustakaan sudah ditutup.
walau aku tiba saat
kondisi dalam keadaan sepi. setidaknya ada anak-anak muda yang les atau
sedang belajar. mirip seperti di sebuah universitas. lalu hujan jatuh.
aku memutuskan untuk menunggu sejenak di deretan kursi-kursi.
menyolokkan charger di dekatnya, tapi tak ada aliran listrik yang menuju
baterai gadgetku. baiklah, ini masalah. karena malam ini aku akan
bergentayangan di sekitar Braga. dan mungkin memilih tidur di serambi
masjid Alun-Alun Bandung. aku masih sedikit tidak rela jika uangku harus
habis hanya untuk sebuah tempat tinggal sementara atau kos. sialnya,
udara sangat begitu dingin dan hujan yang tadinya agak reda, kini mulai
berjatuhan kembali. para nyamuk keparat pun mulai melancarkan serangan.
pertempuran pun dimulai. tanganku mulai melayang ke berbagai sudut kaki.
plak plak plak. para nyamuk selalu berhasil lolos dan meninggalkan rasa
gatal yang harus aku garuk. dalam hati, aku ingin mengutuk kota ini.
kota sedingin Bandung, dihinggapi oleh nyamuk-nyamuk? itu berarti,
Bandung sudah tak lagi sedingin dulu.
kepalaku mulai terasa
berdenyut. aku butuh istirahat, sekedar tiduran, atau semacamnya. tapi
aku tak memiliki tempat untuk melakukannya. tertahan di Goethe Institut
dan ingin menggampar wajah para nyamuk seandainya mereka punya. aku
memutuskan melangkahkan kakiku yang sudah sangat kelelahan dan
pegal-pegal, diiringi hujan yang berhenti dan jatuh lagi berulang-ulang,
menuju Bandung Indah Plaza. dan di sana, menimbang-nimbang harus ke
mana aku setelah ini.
banyak anak Tionghoa di
tempat ini. dan saat aku keluar dari Goethe Institut. macet menggurita
dan membuat aku ingin melemparkan tujuh ratus tiga puluh lima ribu bom
dari langit dan mengeyahkan mobil-mobil itu dari jalanan. Bandung sangat
menyeramkan hari ini. aku pun melangkah di jalan RE Martadinata bersama
hujan yang berjatuhan membasahiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar