Senin, 06 Maret 2017

BANDUNG: GOETHE INSTITUT








tempat ini cukup nyaman. setelah kaki terasa ingin putus karena berjalan kaki berkilo-kilo mencari tempat tinggal atau kos, dan masih belum mendapatkannya. aku memutuskan langsung ke Goethe Institut setelah hujan mereda. 

sehari semalam aku berada di hotel dekat alun-alun. jelas suatu pemborosan yang mahal. dan hari ini pun, sabtu 25 februari, aku tak berhasil mendapatkan tempat tinggal yang tak terlalu mahal. hampir semua kos yang aku tak sengaja masuki, bertarif 900 ribu ke atas. sekitar Braga, BIP, Bandung Wetan, dan sekitarnya, sangat mahal bagiku yang memutuskan untuk bacpacking. dan akhirnya, di sinilah aku sekarang, di Goethe Institut, setelah diantar Gojek menebus belukar mobil yang menggurita di jalanan. entah kenapa, mendadak aku berpikir lagi mengenai kebosanan di suatu kota.

saat memasuki Goethe Institut, aku langsung merasa nyaman. tempat ini sangat menyenangkan untuk membaca, merenung, dan sekedar melepas lelah. bisa dibilang, suasananya mirip hotel, cafe, atau tempat-tempat yang harus layak untuk didatangi. sangat bersih. tertata. dan toiletnya pun sangat menyenangkan. sangat terawat. secara psikologis, tempat yang lumayan aku sukai. 

ada beberapa orang ketika aku tiba di sini. seorang laki-laki dan empat orang perempuan. semuanya pengunjung atau lebih tepatnya, mungkin sedang belajar di sini. mengingat mereka menjadi anggota perpustakaan atau bibliotek, dan meminjam buku serta film. tak perlu waktu lama, aku pun menjelajah.

rak-rak yang tertata seperti di IFI Jogja. aku menemukan beberapa buku menarik dari Goethe dan lainnya. terutama sebuah buku lebar dan berat berjudul, The Diary of Sigmund Freud: 1929-1939 A Record Of The Times Of The Final Decade. rasanya ingin sekali aku membawa pulang buku itu. membacanya lahap di perjalanan. atau sebagai obat penahan demam bagi tubuhku yang akhir-akhir ini sangat kurang beristirahat.

ketika sedang sedikit mengacak-acak isi perpustakaan yang sebenarnya tak seberapa. mataku melihat tiga buah buku berbahasa Jerman dari penulis Indonesia. ada Saman karya Ayu Utami. lalu milik Andrea Hirata. dan sebuah buku khas Bali dari Oka Rusmini. tapi aku lebih tertarik dengan diari Sigmund Freud yang dicetak oleh Museum Freud di London. dalam sekali waktu, aku merasa betah di tempat ini.

ruang tengah Goethe Institut Bandung cukup nyaman dan segar. walau ada sebuah bangunan yang menjulang keterlaluan tinggi, mengganggu mata dan sangat menyebalkan. meja-meja di tengah rerumputan. sebuah kantin. dan warna hijau muda dari papan-papan petunjuk nama dan tempat yang terlihat teduh. membuat aku tak ingin beranjak pergi seandainya jam buka sudah berakhir. hari sabtu, jam 6 malam, perpustakaan sudah ditutup.

walau aku tiba saat kondisi dalam keadaan sepi. setidaknya ada anak-anak muda yang les atau sedang belajar. mirip seperti di sebuah universitas. lalu hujan jatuh. aku memutuskan untuk menunggu sejenak di deretan kursi-kursi. menyolokkan charger di dekatnya, tapi tak ada aliran listrik yang menuju baterai gadgetku. baiklah, ini masalah. karena malam ini aku akan bergentayangan di sekitar Braga. dan mungkin memilih tidur di serambi masjid Alun-Alun Bandung. aku masih sedikit tidak rela jika uangku harus habis hanya untuk sebuah tempat tinggal sementara atau kos. sialnya, udara sangat begitu dingin dan hujan yang tadinya agak reda, kini mulai berjatuhan kembali. para nyamuk keparat pun mulai melancarkan serangan. pertempuran pun dimulai. tanganku mulai melayang ke berbagai sudut kaki. plak plak plak. para nyamuk selalu berhasil lolos dan meninggalkan rasa gatal yang harus aku garuk. dalam hati, aku ingin mengutuk kota ini. kota sedingin Bandung, dihinggapi oleh nyamuk-nyamuk? itu berarti, Bandung sudah tak lagi sedingin dulu.

kepalaku mulai terasa berdenyut. aku butuh istirahat, sekedar tiduran, atau semacamnya. tapi aku tak memiliki tempat untuk melakukannya. tertahan di Goethe Institut dan ingin menggampar wajah para nyamuk seandainya mereka punya. aku memutuskan melangkahkan kakiku yang sudah sangat kelelahan dan pegal-pegal, diiringi hujan yang berhenti dan jatuh lagi berulang-ulang, menuju Bandung Indah Plaza. dan di sana, menimbang-nimbang harus ke mana aku setelah ini. 

banyak anak Tionghoa di tempat ini. dan saat aku keluar dari Goethe Institut. macet menggurita dan membuat aku ingin melemparkan tujuh ratus tiga puluh lima ribu bom dari langit dan mengeyahkan mobil-mobil itu dari jalanan. Bandung sangat menyeramkan hari ini. aku pun melangkah di jalan RE Martadinata bersama hujan yang berjatuhan membasahiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar