Kamis, 09 Maret 2017

JOGJA: KUNCI










Aku disambut oleh salak anjing yang cukup keras. Seekor anjing hitam besar mendekatiku dengan gigi yang terlihat begitu elegan dan sangat mengancam. Bagi seorang yang terbiasa dengan senyum licik sok manis para kucing yang terlihat jinak, lugu, dan bisa kita tendang kapan saja kalau kita marah. Seekor anjing besar tepat di depan mata, yang bisa menggigit, mencakar, dan mencabik, benar-benar sebuah masalah. Sial pikirku, lagi-lagi anjing. Besar lagi. Terlebih akhir-akhir ini, tubuh gemukku tampak menggiurkan. 

Bukannya aku membenci para anjing. Hanya saja, kebanyakan spesies mereka karena terlalu bodohnya hanya mau berteman dengan orang yang dikenalnya saja. Atau yang terbiasa dengan dirinya. Dan tentunya, kalau tiba-tiba aku diserang, aku tak bisa menganiaya balik anjing itu seperti halnya yang sering aku lakukan terhadap para kucing yang badannya lebih kecil dan sangat lemah di depan manusia semacam aku yang kadang berwajah iblis. Tapi anjing, adalah makhluk yang tak begitu adil. Terlalu besar untuk bisa dianiaya dengan tangan kosong. Kenapa para anjing tidak berevolusi lagi menjadi lebih kecil sehingga kalau mencoba mengancam diriku bisa aku banting dengan cara kuno atau modern? 

Mungkin aku salah satu makhluk yang pikirannya sangat dibenci oleh para pencinta binatang. Tapi, aku juga sering memberi makan para binatang, menyayanginya, atau mengutukinya dan menyantapnya. Oh, ternyata aku lebih monster dari pada anjing yang kadang membuatku jengkel. Aku berjalan agak ketakutan, memasuki pintu lembaga Kunci dan sangat senang melihat anjing yang tadi menyalak keras dan mengancam berubah menjadi jinak. Itu baru namanya anjing baik. Ya, anjing baik yang awalnya menjengkelkan. 

Kini aku sedang membaca Memuliakan Penyalinan karya Marcus Boon. Dan ada beberapa buku di sekitarku; The Rebel Sell milik Joseph Heath and Andrew Potter. Budaya Bebas dari Lawrence Lessig. Grand Illusion yang diterbitkan Forum Lenteng. Albert Camus dengan Perlawanan, Pemberontakan, Kematian. Walau suasana perpustakaannya sangat berantakan, tak tertarik, dan sangat tak elegan. Setidaknya, isi buku-bukunya sangat bagus bagi diriku ini.
Dan yang paling penting, aku terbebas dari teror anjing. 

Ada buku-buku dari Virginia Woolf. Meditation milik Marcus Aurelius. Moby Dick karya Herman Melville. Istanbul, sejenis memoar dari Orhan Pamuk. Taring Padi. Nouse dari Jean Paul Satre. Rimbaud, biografi yang ditulis oleh Graham Robb. Dan buku kecil warna putih, dengan garis yang membentuk semacam abstraksi pulau dengan titik di pinggir, Place of Place, karya kreatif dari Kyung-soo Chun. Isi di dalamnya pun hampir sama saja dengan sampulnya. Hanya agak berbeda pola. Penemuan yang aneh tapi menarik. 

Aku menemukan juga Slavoj Zizek, Violence. Dan penemuan yang paling penting adalah 3 jilid buku Hannah Arendt, Asal Usul Totalitarianisme. Aku juga menemukan buku yang diedit oleh Toril Moi, The Kristeva Reader. Gadis Arivia dengan Feminisme: Sebuah Kata Hati. Alvin Toffler, Kejutan Masa Depan. Buku Charles Mackay, Extraordinary Popular Delusions and the Madness of Crowds. Anonymous Writers Club. Orientalism milik Edward Sa'id. Dan buku-buku filsafat yang membuatku terhibur. Bagaimana tidak terhibur?

Aku melihat dua buah karya dari Gilles Deleuze dan Felix Guattari yang berjudul, A Thousand Plateaus dan Anti-Oedipus. Ada tiga buku Nietzsche yang aku temukan, Zarathustra, Excel homo, dan The Will To Power. Ada banyak buku karangan Baudrillard. Buku milik Adorno, Aesthetic Theory. Bring and Times, sebuah karya besar dari Martin Heidegger. Kata-Kata Jean Paul Satre. Tentunya, banyak lainnya. Dan akan menjadi kebodohan aneh jika aku mencatat semuanya. Setidaknya, buku-buku di sini cocok dengan duniaku. Ah, aku juga betah dengan sisi semrawut ruang depan lembaga ini. 

Suasana kekeluargaannya begitu terlihat. Ada banyak orang di sini. Muda dan tua. Tapi aku lagi tak ingin banyak omong. Kecuali hanya sekedar mengeluarkan suara sebentar saja. Aku sudah cukup menggeledah isi perpustakaan milik Kunci dan tahu garis besar yang dimilikinya. Aku pun melanjutkan membaca Memuliakan Penyalinan. Buku yang bagiku sangat layak untuk aku baca dan bawa pulang. 

Adzan Maghrib dengan sangat cepatnya meneror kupingku. Waktu rasa-rasanya begitu cepat kalau sudah nyaman di sebuah perpustakaan tertentu. Perpustakaan yang terletak di jalan Ngadinegaran, Mantrijeron, nomor 100, yang berisi berbagai pohon mangga dan arsitektur yang lebih pada rumah hunian. Dan sialnya, aku masih teringat dengan anjing besar hitam yang masih berkeliaran di sekitarku. Bagaimana perasaan orang lain yang tak begitulah terbiasa dengan sesosok aniing, yang ingin masuk ke tempat ini? Pastinya campuran antara ngeri dan jengkel. Terlebih bagi makhluk yang sangat mudah mengkafirkan orang lain. Jelas, tempat ini sudah murtad. 

Hari ini adalah Selasa. Tepatnya 7 Maret 2017. Aku membeli buku karya Marcus Boon, Memuliakan Penyalinan, dan kembali menembus belukar jalan Jogja yang cukup menjengkelkan. 

Mungkin, aku harus terpaksa terjerumus terus menerus dalam kota yang membosankan ini. Ya, kota yang membosankan. 

Sial, pada akhirnya aku kembali lagi di Jogja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar