Senin, 06 Maret 2017

SURABAYA: WISMA JERMAN








aku sedang menikmati DeR UNSCHULDiGe PASSAGieR karya M toM Diek. bagus. walau aku tak mengerti bahasa Jerman. karya itu lebih mirip komik dengan lebih banyak gambar dari pada percakapan. sebelumnya aku sangat tertarik dengan versi komik, berbeda, dari Faust yang gambarnya bagus. tanpa harus tahu dialognya, gambarnya sudah menjelaskan alur yang menyenangkan dan layak diterjemahkan. seharusnya. sebuah buku berwarna kuning karya Carlsen, Flix Faust; Der Tragodie erster Teil. salah satu yang bagus di perpustakaan ini.

Wisma Jerman ini memiliki perpustakaan sangat kecil dengan buku yang tak terlalu banyak. di dalam mini ruangan ini, orang berjubel sekitar 14 orang. tempat ini rasa-rasanya hanya mampu menampung kurang dari 20 orang saja. walau begitu, IFI dan Goethe Institut seolah memiliki aura nyaman yang tak dimiliki oleh perpustakaan milik pemerintah. setelah kecewa dengan Perpustakaan Umum Daerah. sejujurnya aku juga agak kecewa dengan bibliotek Wisma Jerman. terlampau kecil dengan buku yang seberapa. dan orang yang bernafas di dalamnya hanya memegang bahan pembelajaran mereka mengenai bahasa Jerman. buku-buku yang terihat bagus, diabaikan. mengenai hal yang berpikir, Surabaya pun tak jauh beda dari kota-kota lainnya. dan tempat ini memiliki aura yang tak jauh beda dengan perpustakaan lainnya: mengerjakan tugas, dan menyoal pelajaran saja.

ada seorang Tionghoa berbaju biru yang menbaca novel. suatu kekecualian. seorang bapak-bapak yang berdiam di sudut dan tenggelam dengan video-video. seorang gendut berkacamata. perempuan Tionghoa cukup cantik dan modis berkacamata dan berjaket oranye pink. laki-laki yang memakai kaos Bayer Munchen. laki-laki gondrong. seorang perempuan yang berpenampilan ala anak jalan yang bebas. dan perempuan cantik lainya yang sudah pergi. lalu aku, yang lelah, tak bernafsu, dan malas untuk memikirkan hal yang berkaitan dengan masa depan.

entah mengapa, aku semakin bosan dan pesimis dengan kota-kota di Jawa. melihat isi perpustakaannya saja langsung membuatku malu dan tak ingin lagi banyak berharap. sejujurnya, mengenai hal itu aku sudah cukup tahu. tapi jika melihat perpustakaan nyaman disia-sia itu seperti penghinaan. buku-buku yang sedikit tersentuh serta minim bagaikan semacam kebodohan yang disepakati bersama. kota besar dengan perpustakaan tak layak memang patut dicaci, dihina, dan harus kita anggap tolol.

aku menemukan buku karya Melissa Muller, Das Madchen Anne Frank; Die Biographie. karangan Rudiger Safranski, Goethe. Das Parfum milik Patrick Suskind. aku juga menemukan buku Rainer Maria Rilke, Die Schonsten Gedichte. dua buku karya Thomas Mann. Herman Hesse dengan Stufen.

Nazism and German Society, diedit oleh David F. Crew. Hitler kepunyaan Ian Kershaw. dan beberapa lainnya. sayangnya di sini, jarang ada colokan listrik. itu titik tak menariknya dari perpustakaan mungil ini.

tak lagi menyandang secara resmi nama Goethe Institut karena minat akan Jerman tak terlalu banyak. kini, berubah menjadi Wisma Jerman. kata penjaga Goethe Institut Bandung, tempat ini masih sering didanai oleh Goethe Institut itu sendiri. entahlah, aku tak tahu banyak. sekarang saja aku sudah lapar. aku ingin sekali makan. dan entah kenapa, tiba-tiba ingin sekali pergi dari tempat ini.

mendadak, perasaan kosong menghinggapiku. aku tak tahu lagi harus ke mana. mungkin aku harus berada di antara ambang perasaan dan pikiran yang sering berubah dengan cepatnya. tak ada dunia yang bisa menampung keberadaanku.
aku ingin melanjutkan membaca.

tiba-tiba aku jatuh tertidur. mataku kini terasa berat. sudah hampir jam enam aku lewati tanpa aku begitu sadari. aku memutuskan untuk menyelesaikan membaca. lalu makan. dan melangkahksn kaki menuju Gramedia. dan berharap masih ada dunia yang tersisa untukku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar