Senin, 06 Maret 2017

BANDUNG: SELASAR SUNARYO









Menuju tempat ini benar-benar membuatku terasa konyol dan menguji kesungguhanku ke sana. Letak yang begitu jauh dan tak seorang pengemudi Gojek pun mau menerima keinginanku untuk pergi ke sana. Aku bermaksud mencapai tempat itu sekitar jam 11-12an setelah Pameran Lukisan Akbar, Sejuta Bunga di Kota Kembang Bandung, yang nyaris tak begitu menarik dan biasa saja. Jalan Asia-Afrika penuh dengan orang-orang dan juga sampah. Acara konser akan digelar. Dan aku tak begitu peduli. Lalu hujan tiba-tiba turun ketika aku baru sampai di jalan ABC. sambil menunggu di sebuah batu bulat, seorang gadis kecil berusia sekolah dasar sangat sering memandangiku. Baiklah dek, kamu kecil tapi cantik. Tapi aku bukanlah pedofil. Seperti itulah kepalaku berdengung. Mengatakan pembelaan yang aneh. Apakah mungkin wajahku bisa berubah menjadi senasib dengan tokoh Lolita? Humbert. Oh, tidak. Aku pun mengeluarkan bukuku, Merebut Ruang Kota, membacanya. Aku sudah cukup pesimis mengenai Selasar Sunaryo. Aku nyaris memutuskan untuk pergi ke tempat lain. Dan sialnya, anak kecil itu malah semakin sering memandangiku. Oh buku terkutuk! Keluarga mereka, yang berada di sampingnya, nyaris tak mengetahuinya. Ingat umur dek. Ingat umur. Tolonglah, jangan buat wajahku semakin tambah berdosa! Sudah banyak dosa yang menggencetku hingga Tuhan pun semakin menghilang dalam diriku. Oh jangan, jangan teruskan. Aku pun segera pergi. Duh anak kecil sekarang sudah cepat dewasa. Apakah aku masih cukup menarik bagi anak kecil yang beranjak remaja itu? Yah, aku tak peduli. Wanita, memang lebih mudah jatuh cinta bahkan di usia mereka yang kelihatan lugu. Bahaya bagi orang tua. Dan tentu saja, pesta bagi para laki-laki dewasa.

Aku memutuskan pergi ke Selasar Sunaryo dengan cukup nekat. Sudah hampir setengah tiga sore. Sementara itu, jam buka selasar pustaka hanya sampai jam lima. Aku bertanya ke sana kemari, mengikuti petunjuk jalan yang diberikan, dan bingung, harus naik apa. Ada yang menyuruhku naik angkutan kota arah Dago. Ada yang menganjurkan naik DAMRI. Orang-orang yang aku tanyai menunjukkan jalan ke tempat angkutan yang harus aku tuju. Aku pun jalan kaki ke arah Stasiun Bandung. Menyusuri bangunan yang beberapa kali aku lalui, masih terasa bagaikan mau roboh dan sangat bersampah. Aku pun bertanya lagi. Lalu bertanya lagi. Hingga sampai di Balaikota, tepatnya di depan SMKN 1, aku kembali mencoba peruntungan dengan Gojek. Sialnya, sekali lagi tak ada yang mau menerimanya. Singkat cerita, aku memutuskan menaiki angkutan kota warna hijau menuju terminal Dago Pakar dan memanggil ojek untuk mengantarkan aku ke sana. 

Alasanku agak bimbang menggunakan angkutan kota karena jalanan luar biasa macet. Angkutan yang aku naik tersendat-sendat dan melaju dalam keadaan pelan karena mencari penumpang. Sedangkan Selasar Sunaryo berada jauh di Bukit Pakar Timur. Dan aku takut waktuku yang sangat sedikit habis sekedar di jalan. Pada akhirnya aku sampai sekitar jam 3, setelah melewati jalanan kecil menanjak yang kemacetannya benar-benar gila. Dan oh ya Iblis! Apa jadinya jika tadi aku memutuskan berjalan kaki dari terminal ke Selasar Sunaryo? Mengingat medan yang menanjak dan sedikit terpencil jauh, bisa-bisa kakiku akan langsung mati rasa. Sedangkan keraguanku dengan Gojek karena takut hujan akan turun lagi. Setidaknya aku telah sampai di Selasar Sunaryo dan langsung merasa nyaman walau baru sampai di lahan parkirnya saja. 

Dari Balaikota sampai Terminal, aku hanya mengeluarkan empat ribu rupiah. Sementara ojek ke Selasar, cukup dengan sepuluh ribu. Dan oh ya, tukang ojeknya yang masih muda tentunya sedikit mengeluh dan tak terima ketika aku membayarnya dengan uang pecahan sepuluh ribu. Dia menginginkan lima belas.
'Lima belas bang,' keluhnya.

'Tadi kan aku nawar sepuluh ribu? Masak sekarang lima belas. Ya sudah aku minta nomor telponnya saja, nanti lima belas deh kalau mau nganter aku lagi dari sini,' kilahku. Dan caraku cukup efektif. Mengingat aku belum begitu mengenal kawasan ini dan jaga-jaga jika nanti aku tak bisa pulang karena tak menemukan ojek yang mau mengantarku ke bawah. Lagian tempatnya yang cukup terpencil dan naik turun, benar-benar meneror kaki dan otakku. Jelas, aku tak akan kuat berjalan kaki dengan keadaan kakiku yang masih cukup nyeri dan sakit. Dan di sinilah aku. Selasar Sunaryo. Tempat seniman ternama dan tempat yang cukup elegan dan terlihat mahal. 

Hari ini Minggu, 26 Februari 2017, aku menginjakkan kakiku di Selasar Sunaryo.

Aku pun mengacuhkan pameran Tata Boga. Tujuan utamaku kemari ingin melihat isi perpustakaannya. Dan aku sangat membutuhkan toilet. Sempat sedikit tersasar setelah diberi petunjuk oleh sebuah keluarga yang sedang bersantai di Selasar Kopi. Begitu kelelahannya diriku hingga aku tak begitu fokus. Betapa memalukannya. Tapi hal semacam itu tak banyak berlaku. Aku dalam keadaan antusias melihat sebuah tempat yang sekitarnya cukup hijau, rindang, dan udara yang sangat nyaman dan segar. Lingkungannya pun bersih dan nyaris bebas dari sampah. Nyaris. Sayangnya, jalan menuju sini, Dago Pakar, sampah benar-benar menjijikkan. Terlihat di mana-mana. Seolah tak cukup membuat kotor Bandung Bawah. Bandung atas pun kekotorannya nyaris sebanding. Setidaknya Selasar Sunaryo sangat bersih dan indah.

Aku berjalan tertatih-tatih. Tap tap tap. Melihat ke sana-kemari. Menemukan Selasar Pustaka, ternyata tutup, penjaganya sedang keluar, dan akhirnya memutuskan melihat pameran setelah bertanya kepada seorang perempuan muda yang cukup cantik. Aku pun tersesat di ruang pameran milik Sunaryo, bukan Tata Boga,  yang cara penyajiannya, sial, sekelas dengan Museum Geologi Bandung. Jelaslah, seniman miskin tak akan mampu membuat yang semacam ini. Ya, siapa yang mau jika dia seorang miskin? Seniman lagi?

Aku melihat-lihat sebentar. Karya-karya instalasi yang cukup bagus dan ada beberapa yang menggugah. Sunaryo, memang benar-benar memiliki kepekaan sosial cukup tinggi dalam karya-karyanya. Lalu, aku tertarik dengan penjelasan mengenai Wot Batu. Seniman asal Banyumas itu, bagiku sendiri, cukup menarik.
Aku tak menyelesaikan membaca semua penjelasan karya milik Sunaryo. Tak banyak waktu lagi. Aku pun segera kembali ke Selasar Pustaka. Pintu masih tertutup. Aku memaksa masuk. Dan melihat ruang kecil yang dikelilingi rak buku dan meja kayu yang berplitur kecoklatan kayu. Banyak tumpukan katalog di meja dan kursi. Hingga akhirnya, dalam kebebasan kesendirian, aku pun mengobrak-abrik isi perpustakaan yang tak seberapa banyaknya, tapi cukup nyaman untuk ditempati.

Secara mengejutkan aku menemukan buku langka dan bagus milik Irving Stone, Dear Theo: The Autobiografinya of Vincent Van Gogh. Buku bagus yang benar-benar ingin aku culik dan bawa kabur. Dan buku lainnya yang sangat membuatku begitu ingin adalah 500 Self Potraits. Ah, betapa inginnya. Ada juga buku langka milik Andy Warhol, Potraits. Tapi bagiku, tak terlalu menarik. Aku pun menemukan beberapa buku yang aku anggap layak untuk aku pelajari dan seharusnya ada di pasaran umum; Pesta Seni 1976 dari Dewan Kesenian Jakarta. Prahara Budaya; Kilas-Balik ofensif Lekra/PKI dkk karangan B. S Moeljanto dan Taufik Ismail. Sihir Rumah Ibu: Menyidik Sosial Politik Dengan Kacamata Budaya karya Agus Dermawan T. Politik Kebudayaan di Seni Rupa Kontemporer dari Kenneth M. George. Yogya Dalam Pesta Seni Rupa Indonesia cetakan Yayasan Cemeti. Taring Padi; Seni Membongkar Tirani, yang anehnya dicetak atas dana Ford Foundation. Oh, dunia seni yang plin-plan. Ada buku Raden Saleh; Awal Seni Lukis Indonesia. The Story of Affandi. Goya kepunyaan Robert Hughes. Exploring Modern Indonesia Art. Melacak Jejak Perkembangan Seni Indonesia dari Claire Holt. Dan ada dua buku yang mudah ditemukan dan cukup akrab, Kurasi dan Kuasa yang ditulis A. Hujatnikajennong. Dan Kekerasan Budaya kepunyaan almarhum Wijaya Herlambang. Dan aku sudah agak malas mencatat.

Aku berlama-lama di ruangan kecil dengan beberapa buku berbobot. Seorang laki-laki muda, yang terlihat panik dan sendu karena komputernya sedang rusak, menemaniku di ruangan yang sangat sepi. Dialah pustakawan di tempat ini, Selasar Pustaka. Aku agak iba dengan masalahnya tapi tak bisa berbuat apa-apa. Isi komputer yang patut membuat tegang karena berisi data kuliah, proyek, dan segala hal yang dia anggap penting. Dua kali dia memanggil atau meminta dua bantuan perempuan atau sesekali keluar. Sedang aku sendiri, masih sibuk dengan duniaku. Mencari buku-buku menarik yang terlewat.

Tiba-tiba dia menyarankanku untuk melihat Pameran Tata Boga. Letaknya di bagian sayap. Tutup jam lima sore. Jadi masih ada setengah jam lagi karena sekarang setengah lima. Aku pun memutuskan ke sana, melihat-melihat, dan sangat kecewa. Tak menarik. Tak ada yang perlu diceritakan. Terlebih karya yang hanya sekitar lima buah saja. Kalau tak salah. Aku kembali ke perpustakaan, melanjutkan mencari, dan menemukan beberapa lagi yang menarik. 

Aku selalu nyaman dengan buku-buku. Sendirian. Menikmatinya di bermacam kota yang berbeda.

Aku pun menanyakan berapa jumlah kira-kira pengunjung perpustakaan ini dalam sehari. Rata-rata lima orang atau tak ada sama sekali, katanya. Alasannya jelas, tempat jauh, dan kegairahan membaca di Indonesia juga minim. Ah, tempat senyaman ini sedikit yang melihatnya. Setidaknya, cukup banyak orang di Selasar Kopi. Baik bule atau lokal. Jam lima kurang sedikit, Selasar Pustaka ditutup. Dan aku meminta ikut membonceng pustakawan yang ramah tapi otaknya sedang bingung masalah komputer yang rusak. Dari pada tak bisa pulang dari sini, aku memutuskan segera pergi. Dan beruntung pustakawan di Selasar Sunaryo sangat ramah dan baik hati. Orang Jakarta yang sudah lama tinggal di Bandung, mengambil design tapi kini menjadi pustakawan. Rejeki dan pengalaman jangan ditolak, singkat cerita dari perkataanya.

Ingin rasanya berlama-lama. Tapi aku harus pergi secepat mungkin. Tenggoret sudah mulai berisik dan menguasai segenap tempat. Kami berdua keluar lewat pintu belakang. Berjalan kaki di tanjakan menuju tempat parkir. Membonceng dia di belakang. Dan motor pun semakin menjauhi sebuah bangunan yang kelak sangat ingin aku datangi kembali. Setidaknya aku pernah ke sini dan tahu cara sampai dengan murah dan cepat. 

Dan perjalanan menuruni Bandung sungguh menggelisahkan dan menjengkelkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar