Menuju tempat ini
benar-benar membuatku terasa konyol dan menguji kesungguhanku ke sana.
Letak yang begitu jauh dan tak seorang pengemudi Gojek pun mau menerima
keinginanku untuk pergi ke sana. Aku bermaksud mencapai tempat itu
sekitar jam 11-12an setelah Pameran Lukisan Akbar, Sejuta Bunga di Kota Kembang Bandung, yang
nyaris tak begitu menarik dan biasa saja. Jalan Asia-Afrika penuh
dengan orang-orang dan juga sampah. Acara konser akan digelar. Dan aku
tak begitu peduli. Lalu hujan tiba-tiba turun ketika aku baru sampai di
jalan ABC. sambil menunggu di sebuah batu bulat, seorang gadis kecil
berusia sekolah dasar sangat sering memandangiku. Baiklah dek, kamu
kecil tapi cantik. Tapi aku bukanlah pedofil. Seperti itulah kepalaku
berdengung. Mengatakan pembelaan yang aneh. Apakah mungkin wajahku bisa
berubah menjadi senasib dengan tokoh Lolita? Humbert. Oh, tidak. Aku pun mengeluarkan bukuku, Merebut Ruang Kota, membacanya.
Aku sudah cukup pesimis mengenai Selasar Sunaryo. Aku nyaris memutuskan
untuk pergi ke tempat lain. Dan sialnya, anak kecil itu malah semakin
sering memandangiku. Oh buku terkutuk! Keluarga mereka, yang berada di
sampingnya, nyaris tak mengetahuinya. Ingat umur dek. Ingat umur.
Tolonglah, jangan buat wajahku semakin tambah berdosa! Sudah banyak dosa
yang menggencetku hingga Tuhan pun semakin menghilang dalam diriku. Oh
jangan, jangan teruskan. Aku pun segera pergi. Duh anak kecil sekarang
sudah cepat dewasa. Apakah aku masih cukup menarik bagi anak kecil yang
beranjak remaja itu? Yah, aku tak peduli. Wanita, memang lebih mudah
jatuh cinta bahkan di usia mereka yang kelihatan lugu. Bahaya bagi orang
tua. Dan tentu saja, pesta bagi para laki-laki dewasa.
Aku memutuskan pergi ke
Selasar Sunaryo dengan cukup nekat. Sudah hampir setengah tiga sore.
Sementara itu, jam buka selasar pustaka hanya sampai jam lima. Aku
bertanya ke sana kemari, mengikuti petunjuk jalan yang diberikan, dan
bingung, harus naik apa. Ada yang menyuruhku naik angkutan kota arah
Dago. Ada yang menganjurkan naik DAMRI. Orang-orang yang aku tanyai
menunjukkan jalan ke tempat angkutan yang harus aku tuju. Aku pun jalan
kaki ke arah Stasiun Bandung. Menyusuri bangunan yang beberapa kali aku
lalui, masih terasa bagaikan mau roboh dan sangat bersampah. Aku pun
bertanya lagi. Lalu bertanya lagi. Hingga sampai di Balaikota, tepatnya
di depan SMKN 1, aku kembali mencoba peruntungan dengan Gojek. Sialnya,
sekali lagi tak ada yang mau menerimanya. Singkat cerita, aku memutuskan
menaiki angkutan kota warna hijau menuju terminal Dago Pakar dan
memanggil ojek untuk mengantarkan aku ke sana.
Alasanku agak bimbang
menggunakan angkutan kota karena jalanan luar biasa macet. Angkutan yang
aku naik tersendat-sendat dan melaju dalam keadaan pelan karena mencari
penumpang. Sedangkan Selasar Sunaryo berada jauh di Bukit Pakar Timur.
Dan aku takut waktuku yang sangat sedikit habis sekedar di jalan. Pada
akhirnya aku sampai sekitar jam 3, setelah melewati jalanan kecil
menanjak yang kemacetannya benar-benar gila. Dan oh ya Iblis! Apa
jadinya jika tadi aku memutuskan berjalan kaki dari terminal ke Selasar
Sunaryo? Mengingat medan yang menanjak dan sedikit terpencil jauh,
bisa-bisa kakiku akan langsung mati rasa. Sedangkan keraguanku dengan
Gojek karena takut hujan akan turun lagi. Setidaknya aku telah sampai di
Selasar Sunaryo dan langsung merasa nyaman walau baru sampai di lahan
parkirnya saja.
Dari Balaikota sampai
Terminal, aku hanya mengeluarkan empat ribu rupiah. Sementara ojek ke
Selasar, cukup dengan sepuluh ribu. Dan oh ya, tukang ojeknya yang masih
muda tentunya sedikit mengeluh dan tak terima ketika aku membayarnya
dengan uang pecahan sepuluh ribu. Dia menginginkan lima belas.
'Lima belas bang,' keluhnya.
'Tadi kan aku nawar sepuluh ribu? Masak sekarang lima belas. Ya sudah aku minta nomor telponnya saja, nanti lima belas deh kalau mau nganter aku lagi dari sini,' kilahku. Dan caraku cukup efektif. Mengingat aku belum begitu mengenal kawasan ini dan jaga-jaga jika nanti aku tak bisa pulang karena tak menemukan ojek yang mau mengantarku ke bawah. Lagian tempatnya yang cukup terpencil dan naik turun, benar-benar meneror kaki dan otakku. Jelas, aku tak akan kuat berjalan kaki dengan keadaan kakiku yang masih cukup nyeri dan sakit. Dan di sinilah aku. Selasar Sunaryo. Tempat seniman ternama dan tempat yang cukup elegan dan terlihat mahal.
Hari ini Minggu, 26 Februari 2017, aku menginjakkan kakiku di Selasar Sunaryo.
Aku pun mengacuhkan pameran Tata Boga. Tujuan
utamaku kemari ingin melihat isi perpustakaannya. Dan aku sangat
membutuhkan toilet. Sempat sedikit tersasar setelah diberi petunjuk oleh
sebuah keluarga yang sedang bersantai di Selasar Kopi. Begitu
kelelahannya diriku hingga aku tak begitu fokus. Betapa memalukannya.
Tapi hal semacam itu tak banyak berlaku. Aku dalam keadaan antusias
melihat sebuah tempat yang sekitarnya cukup hijau, rindang, dan udara
yang sangat nyaman dan segar. Lingkungannya pun bersih dan nyaris bebas
dari sampah. Nyaris. Sayangnya, jalan menuju sini, Dago Pakar, sampah
benar-benar menjijikkan. Terlihat di mana-mana. Seolah tak cukup membuat
kotor Bandung Bawah. Bandung atas pun kekotorannya nyaris sebanding.
Setidaknya Selasar Sunaryo sangat bersih dan indah.
Aku berjalan
tertatih-tatih. Tap tap tap. Melihat ke sana-kemari. Menemukan Selasar
Pustaka, ternyata tutup, penjaganya sedang keluar, dan akhirnya
memutuskan melihat pameran setelah bertanya kepada seorang perempuan
muda yang cukup cantik. Aku pun tersesat di ruang pameran milik Sunaryo,
bukan Tata Boga, yang cara penyajiannya, sial, sekelas dengan
Museum Geologi Bandung. Jelaslah, seniman miskin tak akan mampu membuat
yang semacam ini. Ya, siapa yang mau jika dia seorang miskin? Seniman
lagi?
Aku melihat-lihat
sebentar. Karya-karya instalasi yang cukup bagus dan ada beberapa yang
menggugah. Sunaryo, memang benar-benar memiliki kepekaan sosial cukup
tinggi dalam karya-karyanya. Lalu, aku tertarik dengan penjelasan
mengenai Wot Batu. Seniman asal Banyumas itu, bagiku sendiri, cukup menarik.
Aku tak menyelesaikan
membaca semua penjelasan karya milik Sunaryo. Tak banyak waktu lagi. Aku
pun segera kembali ke Selasar Pustaka. Pintu masih tertutup. Aku
memaksa masuk. Dan melihat ruang kecil yang dikelilingi rak buku dan
meja kayu yang berplitur kecoklatan kayu. Banyak tumpukan katalog di
meja dan kursi. Hingga akhirnya, dalam kebebasan kesendirian, aku pun
mengobrak-abrik isi perpustakaan yang tak seberapa banyaknya, tapi cukup
nyaman untuk ditempati.
Secara mengejutkan aku menemukan buku langka dan bagus milik Irving Stone, Dear Theo: The Autobiografinya of Vincent Van Gogh. Buku bagus yang benar-benar ingin aku culik dan bawa kabur. Dan buku lainnya yang sangat membuatku begitu ingin adalah 500 Self Potraits. Ah, betapa inginnya. Ada juga buku langka milik Andy Warhol, Potraits. Tapi
bagiku, tak terlalu menarik. Aku pun menemukan beberapa buku yang aku
anggap layak untuk aku pelajari dan seharusnya ada di pasaran umum; Pesta Seni 1976 dari Dewan Kesenian Jakarta. Prahara Budaya; Kilas-Balik ofensif Lekra/PKI dkk karangan B. S Moeljanto dan Taufik Ismail. Sihir Rumah Ibu: Menyidik Sosial Politik Dengan Kacamata Budaya karya Agus Dermawan T. Politik Kebudayaan di Seni Rupa Kontemporer dari Kenneth M. George. Yogya Dalam Pesta Seni Rupa Indonesia cetakan Yayasan Cemeti. Taring Padi; Seni Membongkar Tirani, yang anehnya dicetak atas dana Ford Foundation. Oh, dunia seni yang plin-plan. Ada buku Raden Saleh; Awal Seni Lukis Indonesia. The Story of Affandi. Goya kepunyaan Robert Hughes. Exploring Modern Indonesia Art. Melacak Jejak Perkembangan Seni Indonesia dari Claire Holt. Dan ada dua buku yang mudah ditemukan dan cukup akrab, Kurasi dan Kuasa yang ditulis A. Hujatnikajennong. Dan Kekerasan Budaya kepunyaan almarhum Wijaya Herlambang. Dan aku sudah agak malas mencatat.
Aku berlama-lama di
ruangan kecil dengan beberapa buku berbobot. Seorang laki-laki muda,
yang terlihat panik dan sendu karena komputernya sedang rusak,
menemaniku di ruangan yang sangat sepi. Dialah pustakawan di tempat ini,
Selasar Pustaka. Aku agak iba dengan masalahnya tapi tak bisa berbuat
apa-apa. Isi komputer yang patut membuat tegang karena berisi data
kuliah, proyek, dan segala hal yang dia anggap penting. Dua kali dia
memanggil atau meminta dua bantuan perempuan atau sesekali keluar.
Sedang aku sendiri, masih sibuk dengan duniaku. Mencari buku-buku
menarik yang terlewat.
Tiba-tiba dia menyarankanku untuk melihat Pameran Tata Boga. Letaknya
di bagian sayap. Tutup jam lima sore. Jadi masih ada setengah jam lagi
karena sekarang setengah lima. Aku pun memutuskan ke sana,
melihat-melihat, dan sangat kecewa. Tak menarik. Tak ada yang perlu
diceritakan. Terlebih karya yang hanya sekitar lima buah saja. Kalau tak
salah. Aku kembali ke perpustakaan, melanjutkan mencari, dan menemukan
beberapa lagi yang menarik.
Aku selalu nyaman dengan buku-buku. Sendirian. Menikmatinya di bermacam kota yang berbeda.
Aku pun menanyakan
berapa jumlah kira-kira pengunjung perpustakaan ini dalam sehari.
Rata-rata lima orang atau tak ada sama sekali, katanya. Alasannya jelas,
tempat jauh, dan kegairahan membaca di Indonesia juga minim. Ah, tempat
senyaman ini sedikit yang melihatnya. Setidaknya, cukup banyak orang di
Selasar Kopi. Baik bule atau lokal. Jam lima kurang sedikit, Selasar
Pustaka ditutup. Dan aku meminta ikut membonceng pustakawan yang ramah
tapi otaknya sedang bingung masalah komputer yang rusak. Dari pada tak
bisa pulang dari sini, aku memutuskan segera pergi. Dan beruntung
pustakawan di Selasar Sunaryo sangat ramah dan baik hati. Orang Jakarta
yang sudah lama tinggal di Bandung, mengambil design tapi kini menjadi
pustakawan. Rejeki dan pengalaman jangan ditolak, singkat cerita dari
perkataanya.
Ingin rasanya
berlama-lama. Tapi aku harus pergi secepat mungkin. Tenggoret sudah
mulai berisik dan menguasai segenap tempat. Kami berdua keluar lewat
pintu belakang. Berjalan kaki di tanjakan menuju tempat parkir.
Membonceng dia di belakang. Dan motor pun semakin menjauhi sebuah
bangunan yang kelak sangat ingin aku datangi kembali. Setidaknya aku
pernah ke sini dan tahu cara sampai dengan murah dan cepat.
Dan perjalanan menuruni Bandung sungguh menggelisahkan dan menjengkelkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar